Tuesday 4 June 2013

Time



Tok tok
“Ya?” Seorang gadis bersurai pirang membukakan pintu, “Hora, Yuki-chan, datang menunggu Li-kun seperti biasa hmm?”
Yuki mengangguk dan tersenyum, “Semuanya kelihatan sibuk ya, Mitsuki-chan.”
Mitsuki mengangguk, “Festival kebudayaan akan tiba sebentar lagi, semua orang antusias dan tentu saja osis harus bekerja keras. Nah, ayo masuk, Li-kun ada di ruangannya.”
Yuki menapakkan kakinya ke ruangan itu dan membungkukan badannya menyapa anggota osis lain yang sedang mengerjakan tugas di ruangan itu. Ia memasuki ruangan di bagian samping, ruangan tersebut adalah ruang ketua osis, ruangan dimana Syaoran berada.
“Syaoran-kun?” Yuki mengintip dari balik pintu. Syaoran mengalihkan pandangannya sebentar dari berkas yang sedang digelutinya untuk melihat siapa yang datang. Syaoran tersenyum lembut begitu mengetahui Yuki yang datang, “Yuki, masuklah.”
Yuki menutup pintu dan duduk di sofa depan. “Syaoran, dimana Futoshi?”
“Hmm? Neneknya sakit jadi dia tidak masuk sekolah hari ini.”
Yuki mengangguk, dan ketika dilihatnya Syaoran kembali menekuni berkas di tangannya. Yuki mengerti, sebagai ketua osis, Syaoran selalu sibuk. Festival kebudayaan akan datang sebentar lagi, ditambah sang wakil ketua osis---Futoshi, tidak masuk sekolah. Syaoran pastilah sangat sibuk.
Yuki mengeluarkan buku gambar dari tasnya dan mulai membuat sketsa. Sudah dua bulan dia menjadi kekasih Syaoran, dan semenjak saat itu juga setiap pulang sekolah dia menunggu Syaoran untuk pulang bersama. Awalnya Syaoran keberatan dan menyuruh Yuki untuk pulang terlebih dahulu bersama teman-temannya.
“Mou! Miyuki harus les musik dan dia selalu dijemput Rain-san, sementara Erika harus mengikuti kegiatan klubnya, kita sering tidak bisa pulang bersama,” Cercah Yuki ketika Syaoran menyampaikan rasa keberatannya.
“Yuki, kau akan bosan karena menungguku, ini akan lama…” Sahut Syaoran.
“Tidak akan, aku bisa sabar untuk menunggumu selesai dengan urusanmu. Lagipula saat ini sedang marak-maraknya penculikan gadis lalu bisa kau bayangkan bagaimana…”
“Baiklah Yuki, kau pulang denganku,” potong Syaoran cepat. Dan Yuki pun bersorak menang dalam hati.
Jadi disinilah Yuki. Untuk menghilangkan rasa bosannya, Ia selalu membawa buku gambarnya kemanapun ia pergi. Asalkan ada buku gambar itu, semuanya akan terasa mudah untuknya. Waktu pun tidak akan terasa lama ketika Ia sedang menggambar.
Tapi tak lama kemudian ia mendengar Syaoran mendeham. Ia pun memalingkan wajahnya dari buku gambar kesayangannya.
“Ada apa, Syao?”
Syaoran hanya bisa menghela nafasnya, “Yuki, aku jenuh.”
Yuki memiringkan kepalanya. Bingung. “Lalu apa yang harus aku lakukan untuk membantumu mengusir rasa jenuhmu?”
Syaoran berfikir dan kemudian tersenyum. “Kemarilah,” katanya kemudian.
Yuki berdiri dan menghampiri Syaoran. Tapi sebelum Yuki berada tepat di sebelah Syaoran, Syaoran menarik Yuki dan langsung memeluk gadis itu. Ia membenamkan kepalanya dengan nyaman di perut Yuki.
“S… Syaoran-kun?!!” Rona merah memenuhi pipi Yuki. Ada rasa bahagia menggelitiki perutnya.
“Ssst, sebentar saja.”
Yuki tersenyum lembut, “Syaoran pasti kelelahan karena berkas proposal yang menumpuk itu.” Ujarnya dalam hati. Tangannya mengusap lembut kepala Syaoran.
“Yuki.”
“hmm?”
“Telepon ibumu dan beritahu kau akan pulang terlambat, kita makan malam di luar,” Syaoran mengangkat wajahnya dan menatap dalam manik amethyst Yuki.
Yuki kaget dan kemudian menggulung tersenyum. Ia tahu, sesibuk apapun, Syaoran pasti akan selalu menyempatkan waktunya untuk dirinya.
“Hai…” Yuki kembali menyandarkan kepala Syaoran di perutnya.
CTRAK! GUBRAK!!!
Serentak Yuki dan Syaoran melepaskan pelukannya masing-masing dengan wajah merona.
Pintu ruangan ketua osis terbuka lebar dan terpampanglah setumpuk manusia kini tengah memenuhi ambang pintu tersebut.
“Masayoshi, kamu berat tau ngga jangan dorong-dorong!”
“Mika yang mendorongku duluan.”
“Apaan sih..”
Tapi kemudian mereka diam karena merasakan aura hitam memenuhi ruangan tersebut dan deathglare yang begitu menusuk dari sang ketua osis.
“Kalian… Aku tambah pekerjaan kalian dan untuk malam ini kalian tidak kuijinkan pulang.”
“O-oi, Syaoran kau pasti tidak…”
“Untuk satu minggu.” Potong Syaoran.
Kemudian terdengar jeritan frustasi memenuhi ruangan tersebut. 

Saturday 18 May 2013

Your Shining Smile - Trailer



Berawal dari sebuah tabrakan di suatu pagi.

“Aduh!”
.
“Liat-liat kalau jalan, miskin!”
.
“Kau baik-baik saja?”

Benih-benih cinta bermunculan.

“Siapa yang menyimpan lukisan ini disini? Kenapa wajahku ada di dalam lukisan ini?”
.
“Aku menyukaimu, Miyu!”

Persahabatan yang mulai retak…

“Kumohon Miyu, jauhi Hideki-kun…”
.
“Yuri-chan? K… kenapa?”

… Karena cinta.

 “… Kau tau? Aku bersyukur telah memutuskan tali persahabatan kita.”
.
“Kalau Miyu tidak bisa membahagiakanmu, putuskan dia dan datanglah kepadaku!”

Sebuah pengakuan yang begitu sulit diterima.

“Memangnya kenapa jika aku yang membuat lukisan itu?!”
.
“Kau? Tidak mungkin…”
.

Kebimbangan diantara persahabatan dan cinta.

“Yuri, aku tidak bisa menjauhinya…”
.
“Kumohon Hideki-kun, aku tidak bisa melanjutkan ini lagi…”
.
“Hiks… Tidak bisakah kau melihat aku disini, Hideki-kun? Aku yang selalu menunggumu.”

Kepercayaan rapuh yang mulai dibangun perlahan.

“Demi Tuhan! Kau bisa benci aku tapi kumohon jangan lakukan ini!”
.
“Percayalah padaku.”
.
“Jangan lepaskan aku, Asuka.”
.
“Kau bodoh?! Aku memang tidak akan melepaskanmu...”

Ketika cinta tak bisa dimengerti.

“Apa kau keberatan jika aku mencintaimu?”
.
“Kau memang tak peduli, tapi bagaimana denganku?”
.
 “Kau tau siapa yang kau cintai, tetapi kau tidak mau mengakui itu. Jangan terlalu naif!”

Membuat setiap masalah semakin rumit

“Sahabat? Maksudmu mantan sahabat?”
.
“Yuri-chan, Miyu-chan tidak pernah bermaksud…”
.
“Kau katakan itu karena kau menyukai Asuka kan? Jangan munafik!”
.
“Aku tidak…”
.
“Tutup mulutmu Yuri! Aku lebih mengerti perasaan Miyu dibandingkan dirimu!!!”
.
“JANGAN LEMAH, TOLOL! SELAMA AKU MENGENALMU AKU TIDAK PERNAH MELIHATMU MENYERAH SEPERTI INI!!!”
.
“Karena itu, kumohon… kembalikan persahabatan kami seperti semula…”

.

.

.
Character and Story by Adinda Azka Nur Fathya:

Miyuki Iwasawa
.
“Demi Tuhan, aku tidak tau siapa yang harus aku pilih…”


Asuka Naoi
.
“Aku bukanlah aku yang kau lihat selama ini.”


Hideki Akamon
.
“Miyu, aku mencintaimu!”


Yuri Nakajima
.
“Padahal aku lebih mencintaimu…”


Megumi Irie
.
“Aku ingin persahabatan kita kembali seperti semula…”

.

.

.

Romance, Drama, Hurt/Comfort, Friendship.
T Rated
.

.

.

Your Shining Smile
.

.
.

COMING SOON
2013

Monday 13 May 2013

M.O.R.T.E: The Death Chase (Chapter 7)


Holaaaaa~!! hai, kangen aku? kangen aku? hehe oke aku tau kalian pengen banget ngegaplok aku gara-gara super lama sekali meng-update morte. Maaf yaaa /bow
Dan maaf juga kalau ternyata morte yang kali ini agak mengecewakan, soalnya emang digeder banget. Tata bahasanya juga acak-acakan yaaa bisa dibaca sendiri.
Selamat membaca dan enjoy ;)

©Adinda Azka/Original Net Novel [ONN]
( All names of characters, title, and all of the story is licensed by Adinda Azka)

Title : M.O.R.T.E : The Death Chase 
Chapter : 7. Separated Twins
Genre : Mystery, Action, Horror, Romance, Supernatural, Fantasy.
Rating : Buat manusia yang udah bisa mencerna misteri murahan (?)

WARNING: Bahasa Innalillahi, kebanyakan dialog, alur acakadut, tokoh kurang mendukung, miss typo, cerita garing, monoton, misteri ga rame , dan masih banyak kewarningan yang lain (?)






“Tuanku, sampai kapan kita harus menunggu?”

“Cukup lakukan saja perintahku dan jangan banyak tanya.”

“Kehormatan bagiku untuk melaksanakan perintahmu, tuan.”

.

.

.

M.O.R.T.E
-Chapitre 7-
“Separated Twins”
Adinda Azka
©2013
                                                                                                                                                                         
.

.

.


Heureux, Untold World.
                “Sudahkah ada kabar dari mereka?” seorang wanita bermata obsidian menatap cemas seorang pria bertubuh tegap. Pria itu menggelengkan kepalanya, matanya menatap layar dari Macbook putih miliknya, “Tak ada yang bisa kulakukan lagi. Aku mencoba melacak keberadaan mereka, dan hasilnya nihil.”

                Wanita itu memejamkan matanya dan menghela nafas, “ini sudah kedua harinya mereka mengilang tanpa jejak. pihak kepolisian sudah mengerahkan pencarian ke berbagai penjuru. Tapi mereka belum berhasil ditemukan.”

                “Fraise…”pria itu memanggil wanita disebelahnya. Matanya masih menatap macbook putih di hadapannya dengan tatapan menerawang

                “hn?”

                “Apakah ini ulah dia?”

                “Dia? Siapa dia?”

                Priaitu mengacak-acak rambut brunette-nya, “Ayolah, kau tau maksudku.”

                Wanita itu terdiam, keningnya berkerut membentuk empat siku, tanda ia sedang berfikir.Hingga akhirnya dia mendesis, “Dia…”

                “Kau benar.”

                Fraise menghela nafas, “sudah 10 tahun. Sejak kita mengambil Luna sebagai anak.”

                Pria yang kini diketahui adalah suami dari Fraise, kini membuat senyum simpul dibibirnya, “Luna kini tumbuh menjadi seorang gadis yang ceria. Syukurlah. Karena keadaannya saat kita menemukannya 10 tahun lalu sama sekali tidak bisa dibilang baik.”

                Melihat suaminya tersenyum, Fraise ikut mengeluarkan senyumannya, “itu berkat anak dari temanmu, Chris.”

                Chris menaikkan sebelah alisnya, “Ervan?”

                Fraise menjentikkan jarinya, senyum di bibirnya semakin mengembang, “tepat!”

                Chris mengedikkan bahunya, “aku tidak tau bahwa Ervan memiliki pengaruh yang kuat bagi Luna.”

                “Firasatku mengatakan…” Fraise menyandarkan kepalanya pada bahu Chris, “… Pria terbaik untuk Luna adalah dia. Ervan adalah pria yang ditakdirkan untuk Luna.”

                Chris tersenyum, tangannya mengusap lembut rambut Fraise, “dan firasatmu tidak pernah meleset.”

.

.

.

                Morne, Untold World.
                Ervan mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Matanya mencari-cari suatu kenyataan yang mungkin masih bisa ditemukan olehnya. Tiba-tiba matanya tertarik kepada sesuatu yang ganjil di sudut ruangan.

                Matanya yang tajam melihat sebuah tonjolan pada dinding. Ervan berjalan mendekati tonjolan tersebut. Jemarinya menekan-nekan tonjolah tersebut. Seperti sihir,dinding disebelah tonjolan tersebut bergerak dan membuat sebuah lubangberukuran 15x15cm menganga di hadapannya.

                Ervan mengulurkan tangannya kedalam lubang itu. Tiba-tiba tangannya mengerjang, dia menemukan secarik kertas didalam lubang tersebut. Ervan menggenggam kertas itudan menariknya keluar. Kertas itu terlihat kusam dan hampir hancur. Ervan membaca tulisan pada kertas itu.

                Dia tahu segalanya.
                Dia ada di dekatmu.
                Lebih dekat daripada urat nadimu sendiri.

                Ervan hanya bisa diam. Memikirkan apa maksud dari ketiga kalimat pada kertas tersebut. Ervan memejamkan matanya, lalu dia teringat sesuatu. Ervan membuka matanya dan mendesis, “…Dieu*.”

Tiba-tiba, secara perlahan tapi pasti secercah cahaya muncul dari dalam lubang darimana kertas itu didapatkan. Ervan menjulurkan kembali tangannya, menangkap cahaya tersebut.

Setelah dirasakan cahaya tersebut tergenggam olehnya, Ervan menarik tangannya kembali.Ervan membuka tangannya, dan melihat sebuah kalung dengan liontin berbentuk dua ekor naga yang saling bersilangan seolah-olah melindungi satu sama lain. Mata Ervanmenangkap kilauan memancar dari celah kedua naga tersebut. Ternyata kilauan ituberasal dari sebuah permata berwarna turquoise. Begitu indah dan misterius.
Ervan mengagumi kalung tersebut sebelum memasukan kedalam tas kecilnya dengan gerakansigap. Ervan melangkahkan kakinya keluar dari ruangan tersebut, pikirannyamasih disibukkan dengan kejadian-kejadian yang baru saja dialaminya.

.

“Sudahlah Luna…”

Tania menepuk-nepuk pundak Luna yang masih gemetaran. Tetapi Luna tidak bisa menghentikan tangisannya.  Terlalu banyak hal menyedihkan yang telah menimpanya.

Tania nyaris putus asa ketika dilihatnya Ervan datang menghampiri mereka, “Sst sudahlah! Lihat Ervan datang, jangan sampai kau membuatnya bingung dengan matamu yang basah itu.”

Kalimat itubagaikan sebuah mantra bagi Luna. Dua detik kemudian gadis itu sudah tidak terisak lagi walaupun matanya masih sembab. Ervan menyadari ada yang tidak beres dengan kedua gadis di depannya. Tetapi egonya tetap menolak untuk bertanya lebih lanjut.

“Informasi apayang kau dapatkan, Ervan?”

Maria Angela D’Legere”

Tania menahan nafasnya, “Aku tahu nama itu! Itu nama nenekku!”

“Benarkah?!”Ervan membulatkan matanya, “Kalau begitu nama ibumu Marrybelle Elizatania D’Blanche?”

Tania mengangguk cepat, “Tepat!” Tapi tiba-tiba, Tania mengerutkan keningnya, “tapi tunggu dulu, ada yang aneh dengan nama nenekku, kenapa beliau tidak memakai marga suaminya?”

Kali ini Luna membuka mulutnya, “Maksudmu kakekmu? Apa nama marganya?”

“Sama seperti ibuku dan aku, D’Blanche.” Taniasemakin mengerutkan keningnya, “Aku tidak mengerti, ibuku juga setelah menikah dengan ayahku tidak mengganti nama belakangnya menjadi Le’ Noir.

Le’ Noir!” Luna berseru keras. Tania menatapnya heran, “ada apa?”

“Nama ayahmu… PierreLe’ Noir?” Tanya Luna ragu-ragu. Tania semakin menatapnya heran, “Ya, kau mengenalnya?”

“Tidak, tapi aku…” Tatapan Luna menerawang, tiba-tiba sekelebat bayangan kembali menyerbu merasuki pikirannya.

Seorang bocah kecil bermata emerald, sedang dipangku oleh pria berambut gelap. Pria itu memiliki warna mata yang sama dengan bocah yang sedang dipangku olehnya. Pria itu tersenyum, sementara bocah dipangkuannya tertawa bahagia. Momen itu terus berjalan sampai seorang wanita berambut pirang datang, dan membuat semuanya menjadi kabur.

Luna mengerjapkan matanya, tidak mengerti dengan apa yang dilihatnya barusan. Kenapa rasanya pria itu begitu familiar baginya. Dan kenapa… Ia begitu merindukannya?

Sebuah tepukan mendarat di bahunya. Luna tersadar dari lamunannya kini menatap wajah pemilik tangan itu.
“Kau baik-baik saja?” tanya Tania cemas. Luna mengangguk pelan.

“Ayo,” Ervan membuka mulutnya. Tania dan Luna hanya memandanginya heran.

Ervan mulai melangkah. Tatapan matanya menjadi dingin. Ia mengambil senapan yang tergantung di punggungnya.

“Kita pergi ketempat dimana seharusnya kita berada.”


.

.

.

Ervan menjengukkan kepalanya ke luar ruangan untuk melihat keadaan sekitar. Setelah dirasanya cukup aman, ia memberikan kode kepada dua gadis dibelakangnya untuk mengikutinya. Mereka berjalan nyaris tanpa suara. Tangan mereka terus memegang senapan, bersiap-siap jika ada chain yang tiba-tiba menyerang.

Tapi sejauh ini belum ada tanda-tanda munculnya chain. Sampai akhirnya mereka sampai didepan sebuah pintu.
Ervan memegang knop pintu tersebut. Kini Ia memalingkan mukanya, menatap wajah dua gadis yang sedari tadi mengikutinya. Mereka mengangguk dan Ervan mulai membuka pintu tersebut.

Tampak sebuah ruangan luas seperti aula. Berdinding abu-abu. Tampak mewah, elegan namun suram. Ada aura tidak menyenangkan menyergap mereka bertiga ketika pertama kali menapakkan kaki ke dalam ruangan tersebut.

Namun bukan hal itu yang membuat mereka tersentak kaget, melainkan sesosok wanita yang tengah berada di sebuah tabung besar berisikan air di salah satu sisi ruangan tersebut.

“Mama!!!” Tania berlari menghampiri tabung air tersebut. Tangannya memukul kaca tabung didepannya, berharap wanita di dalam tabung tersebut membuka matanya. “Mama!Mama! Mama!”

Luna tersentak,gadis itu sangat terkejut. Wanita di dalam tabung tersebut dan gadis yang sedang memukul-mukul tabung tersebut sangatlah mirip. Seperti pinang dibelah dua. Tidak ada yang menyangka bahwa sebenarnya mereka adalah ibu dan anak. Lainhalnya dengan Ervan, Ervan tidak terkejut seperti Luna karena dia sudah melihatsosok itu sebelumnya.

“Mama!” Tania masih memukuli tabung tersebut, “Sialan!”

Ervan melangkah maju, “Mundur Tania!” Pria itu mengambil senapan yang tergantung dipunggungnya. Ervan mengarahkan senapannya pada tabung itu dan menembakkannya berkali-kali. Timbul retakan pada dinding tabung kaca tersebut. Tak menunggu lagi, Tania menendang dengan kekuatan penuh tabung itu sampai pecah. Dengan segera Tania menangkap tubuh yang selama ini terkurung di dalam tabung itu dan menidurkan dipangkuannya.

Tania menekan puncak kepala sosok itu sambil membacakan mantra. Selang beberapa lama, manik sapphire itu terbuka.

"Louange à Dieu** ,Mama…"            

Tania memeluk sosok mamanya yang selama ini menghilang dengan rasa haru. Sementara sosok itu masih terlalu lemas untuk bergerak memaksakan tangannya untuk mengelus puncak kepala putrinya.

“Tania kau baik-baik saja?” Luna dan Ervan berlari menghampiri dua sosok serupa tapi tak sama tersebut.

Tania mengangguk. Sementara sosok yang didekapnya itu bangkit, melihat Luna dengan tatapan lekat. Bibirnya tersenyum.

“Sudah lama kita tidak berjumpa ya…”

“Eh? Apa kita pernah bertemu?” Luna mengangkat sebelah alisnya. Heran.

“Kau lupa?Waktu itu kau sempat masuk ke dunia mimpi dan bertemu denganku. Mimpi yang menimbulkan goresan morte di tanganmu itu.”

Luna tersentak. “Aaah! Aku ingat. Aku senang kita bisa bertemu kembali Nona—eh,Nyonya?”

“NamakuElizatania,” Sosok itu kembali tersenyum.

“Baiklah, Nyonya Elizatania…”

Elizatania mengangkat alisnya dan sedikit terkekeh, “Kau, dasar anak durhaka. Berani memanggil ibumu dengan panggilan seperti itu?”

Hening.Terlalu hening sampai semuanya angkat bicara.

“Apa?!”
.

.

.

“K.. kau ibuku?” tanya Luna tidak percaya. Rasa penasarannya semakin membuncah ketika dilihatnya sosok yang mengaku ibunya itu tersenyum, “Kenapa?”

“Apa maksudmu, Ma?” Tania pun tidak kalah heran.

“Iya, Kau— Tania dan Luna sebenarnya adalah sepasang anak kembar,” Elizatania menjelaskan. “Dan Luna, namamu sebenarnya bukan Luna tapi Eliza.”

“Eliza?”

“Diambil dari namaku Elizatania. Eliza dan Tania, nama untuk sepasang anak kembar.”

“Tapi nyonya, Luna dan Tania samasekali tidak mirip,” Ervan ikut angkat suara.

“Ya, itu bisa terjadi. Gen Tania menurun dariku, sementara Eliza dari ayahnya.”

“Umm.. boleh aku tanya sesuatu? Apa suamimu itu pria dengan mata hijau dan rambut cokelat gelap?” Tanya Luna pelan. Rasa penasaran masih menghantuinya.

“Ya, kau tau?”

“Aku pernah sekelebat melihat bayangan dirinya sedang memangku anak kecil yang ciri-ciri fisiknya hampir sama dengannya,” Jawab Luna.

Elizatania tersenyum, “Anak kecilitu kau, Eliza. Dan pria itu bernama Pierre. Dia ayahmu.”

Sebulir air mata turun membasah ipipi ranum Luna.

“Kau baik-baik saja?” Tanya Ervan khawatir. Luna mengangguk, “Entahlah, rasanya membingungkan…aku bahagia telah mengetahui orang tuaku yang sebenarnya. Tapi rasanya aneh…entahlah…” Luna semakin menangis.

Elizatania merengkuh tubuh putrinya, “Sst.. maafkan Mama ya? Mama tidak bermaksud membuangmu. Tapi Mama hanya ingin kau dan Tania hidup selamat.”

Lunamengangguk pelan, “Mama… mama… mama…”

Tania ikut memeluk dua sosok yang saling merengkuh satu sama lain itu. “Hai saudara kembarku. Aku bersyukur ternyata aku bukan anak tunggal…”

Ervan hanyak bisa terdiam melihat semua ini.

Tiba-tiba suara tepuk tangan memenuhi ruangan itu membuat semuanya tersentak kaget.

“Bravo! Bravo! Drama yang bagus sekali, benar-benar membuatku geli!” Sosok tegas dan tegap perlahan muncul dari balik tirai. Elizatania mengerjang begitu mengenali siapa sosok tersebut.

“Papa…”


.

.

.

*Tuhan
**Puji Tuhan