Bonjour :) sudah lama saya tidak update cerita ini
huehueheh xD jangan bosen nunggu ya :D dan maaf kalo chapternya pendek.
keep reading and comment, okay?
©Adinda Azka/Original Net Novel [ONN]
( All names of characters, title, and all of the story is licensed by Adinda Azka)
Title : M.O.R.T.E : The Death Chase
Chapter : 5. Strength Of The Strongest
Genre : Mistery, Action, Horor, Romance, Supernatural, Fantasy.
Rating : Buat manusia yang udah bisa mencerna misteri murahan (?)
WARNING: Bahasa
Innalillahi, kebanyakan dialog, alur acakadut, tokoh kurang mendukung,
cerita garing, monoton, misteri ga rame , dan masih banyak kewarningan
yang lain (?)
.
.
.
“Ervan
…” kata Luna disela isak tangisnya, “mengapa kau menembak terali besi
itu? Kenapa?!! Sekarang aku kehilangan satu sahabatku lagi, kau
tau?!!”
“Kau gila?!” sergah Ervan, “kita bisa terbunuh kalau aku tidak melakukan hal itu!”
“tidak
adakah cara lain untuk menghentikannya selain membuat dia
menghembuskan nafas terakhirnya?!! Apakah kau senang melihatku
sendirian lagi?!!”
“Luna … aku …” Ervan mencoba menjelaskan.
“Ervan… aku membencimu …” lirih Luna.
“Apa?!” desis Ervan tidak percaya.
“Aku benci padamu…”
.
.
.
M.O .R.T.E : The Death Chase
Strength Of The Strongest
.
.
“Aku benci padamu …”
Ervan
membisu. Matanya terus menatap Luna. Hatinya terasa tercabik-cabik
mendengar gadis yang disayanginya mengatakan benci kepadanya.
Luna
juga membisu. Dia merasa sakit. Mulutnya telah mengatakan sesuatu yang
sangat bertolak belakang dengan hati nuraninya. Sesungguhnya dia tidak
benar-benar membenci Ervan.
“Sudah malam,” kata Tania
memecah keheningan, “kita harus mencari tempat beristirahat.” Tania
bangkit, Ervan dan Luna mengikutinya.
Mereka sampai kepada kamar
yang telah terlebih dahulu ditemukan oleh Anne. Tania mendekati kasur
dan mengecek kekokohannya. Ternyata setelah bepuluh-puluh tahun tidak
terurus, kasur itu masih kokoh.
“Kasur ini masih kokoh. Kita bisa tidur disini,” kata Tania. Matanya kini menatap Ervan, “Kau mau ikut tidur bersama kami?”
“ah! Tidak, aku di bawah saja,” Kata Ervan menanggapi Tania. Luna masih membisu.
Tania dan Luna berbaring di kasur. Ervan terduduk di salah satu sisi kasur itu.
Beberapa jam berlalu, ruangan itu menjadi hening sekali. Terdengar nafas Tania dan Luna yang teratur.
Ervan
menghela nafasnya. Dia tidak bisa tidur sama sekali. Terlebih lagi
setelah memikirkan kejadian aneh menimpanya. Dia makin tidak bisa tidur.
Ervan bangkit dan menghampiri Luna yang terlelap. Dipandanginya wajah Luna yang tenang. Hatinya semakin tercabik cabik.
Ervan mendekati wajah Luna dan mengambil beberapa helai rambut luna lalu mengecup rambut itu.
“Kau sekarang membenciku eh?” Tanya Ervan pelan nyaris berbisik.
Luna tetap diam. Matanya tertutup rapat. Nafasnya teratur.
Ervan menghela nafasnya, “perasaanku selama ini sekarang terbuang sia-sia.”
Ervan berjalan menuju pintu dan keluar dari ruangan itu. Luna membuka matanya. Hatinya terasa perih.
.
.
“Kasur ini masih kokoh. Kita bisa tidur disini, Kau mau ikut tidur bersama kami?”
“ah! Tidak, aku di bawah saja.”
Tania dan Luna berbaring di kasur. Ervan terduduk di salah satu sisi kasur itu.
Beberapa
jam berlalu. Luna memaksakan matanya untuk terpejam. Tetapi tidak bisa.
Terlalu banyak kejadian aneh yang dialaminya hari ini dan itu semakin
membuat dia tidak bisa tidur.
Tiba-tiba didengarnya Ervan bergerak. Entah mengapa, Luna segera menutup matanya dan mengatur nafasnya agar terdengar tenang.
Dengan pendengaran yang dimilikinya, Luna tau bahwa Ervan sedang berjalan ke arahnya.
Hening…
“Kau sekarang membenciku eh?”
Luna
menahan nafasnya, suara Ervan terdengar dekat sekali. Seperti tepat di
depan wajahnya. Luna mendengar Ervan menghela nafasnya.
“perasaanku selama ini sekarang terbuang sia-sia.”
Kini
jantung Luna terasa seperti berhenti berdetak. Pikirannya kosong.
Rasanya dia ingin bangkit dan memeluk Ervan, tapi entah mengapa tubuhnya
tidak bisa digerakkan. Detik berikutnya, Ervan menjauhkan diri dari
Luna dan berjalan keluar ruangan.
Luna membuka matanya dan duduk.
Matanya terasa panas. Luna menekan dadanya, merasakan jantung dibawahnya
tangannya itu berdenyut tidak beraturan. Rasanya seperti disayat-sayat
gergaji, diinjak gajah, digiles truk dan dicabut secara paksa dari
tempatnya.
Sakit.
Kini air mata Luna terjatuh dari
tempatnya. Luna menangis dan dia tidak berusaha untuk menahan tangisnya
itu. Dia hanya berharap semakin banyak air mata yang keluar maka semakin
banyak pula rasa sakit yang dapat dilepasnya. Tapi berbalik dari
kenyataan, semakin dia menangis, semakin dia merasakan kenyataan datang
menyiksanya.
“Tuhan bagaimana ini…” Luna menekan dadanya semakin keras dan membenamkan kepalanya di antara pahanya. “… aku mencintainya.”
.
.
.
ERVAN
melangkahkan kakinya dengan ragu-ragu. Pikirannya kacau. Ervan menampar
wajahnya sendiri. Berharap semua yang terjadi hanyalah sebuah mimpi.
Sebuah mimpi konyol yang telah membuat dirinya seolah-olah menjadi orang tolol yang paling menderita dimuka bumi ini.
Tapi
apa daya, semuanya asli bukan mimpi. Dan menerima kenyataan ini hampir
sama rasanya seperti melompat ke jurang penuh buaya dan singa yang
sedang menunggu jatah makanan mereka.
Ervan mengacak-acak
rambutnya dengan perasaan gusar. Demi tuhan, dia tidak pernah merasa
se-menderita ini. Dan demi tuhan juga, dia tidak akan merasa begitu
menderita kalau Luna tidak berkata bahwa gadis itu membencinya.
Segalanya terasa begitu menyakitkan setelah menyadari suatu kenyataan bahwa, Luna Rayon –gadis terpenting untuknya– membencinya.
Ervan
mengambil pistol yang tergantung di pinggangnya. Ditatapnya pistol itu
lekat-lekat. Otaknya berfikir, akankah Luna tersenyum ketika melihatnya
mati? Ervan menimbang-nimbang sebentar. Luna kini membencinya, dan
mungkin satu-satunya cara agar kesalahannya pada Luna bisa dimaafkan
adalah
Mati.
Ya mati. Kalau dirinya mati, maka Luna pun akan merasa senang karena orang yang telah membunuh sahabatnya itu telah mati.
Ervan
termenung, tiba-tiba hati nuraninya kembali berbicara. Kalau dia mati,
siapakah yang akan menjaga Luna dari bahaya? Belum sempat menjawab
pertanyaan hatinya, Ervan kembali teringat pada perkataan Anne sebelum
gadis itu mati.
“lagipula kalau dia mati duluan maka susunan MORTE itu akan teracak, bukankah begitu?”
Ervan
kembali memutar otaknya untuk berfikir. Susunan Morte yang teracak ya.
Hn, benar juga. Inisial namanya juga berada di dalam kata tersebut.
Kalau dia mati, kemungkinan besar Luna untuk selamat juga semakin besar.
Kemungkinan
itu membuatkan Ervan meneguhkan niatnya. Diarahkannya pistol yang
digenggamnya itu ke kepalanya. Tepat di otak, tempat dimana seluruh
kerja badannya dikendalikan. Ervan menghitung mundur sementara jari
telunjuknya mulai menekan pelatuk pistol tersebut.
Sepuluh…
“Ervan…”
“Ervan, ini anak teman papa…”
Ervan
tersenyum pada seorang gadis kecil yang sedang bersembunyi dibalik
tubuh ayahnya. Gadis kecil itu menunduk, wajahnya semerah saus tomat.
Ervan
mengangkat tangannya, mengulurkan tangannya untuk menarik tangan kecil
yang masih menggenggam baju pria dewasa di depannya.
“Namaku Ervan. Namamu siapa?”
Gadis
kecil itu melihat tangan Ervan lalu melihat muka Ervan. Terus begitu
berulang-ulang. Sampai tiga puluh detik kemudian, gadis kecil itu
mengulurkan tangannya untuk menyambut tangan Ervan yang sudah terlebih
dahulu terulur di hadapannya.
“Luna.”
Sembilan…
“Ervan…
Ervan…” Luna menepuk pipi sahabatnya yang tengah tertidur dihadapannya.
Tetapi sahabatnya itu sama sekali tidak bergeming.
“Ervan bodoh,” Luna mengalihkan pandangannya ke arah lain, “dia lebih menyukai mimpinya ketimbang aku.”
Tanpa
sepengetahuan Luna, Ervan membuka matanya. Ternyata dia tidak tidur.
Dia hanya pura-pura tidur untuk menjahili Luna. Tapi kini dia tidak tahu
mana yang lebih, antara membuka matanya atau terus berpura pura tidur
sambil berfikir tentang kata-kata Luna tadi.
Delapan…
“Oi Ervan, siapa Luna bagimu?” tanya seorang pemuda kepada temannya yang sedang menyesap Coke kalengan di tangannya.
“Luna? Dia itu temanku sejak kecil. Kenapa?” jawab Ervan enteng.
“hanya itu?”
“hn.”
“tapi menurutku, sikapmu terhadapnya itu berbeda.”
Ervan mengalihkan pandangannya dari Coke itu ke wajah temannya. “Itu masih menurutmu.”
“Kau ini, jangan salah. Mataku ini tajam, kau tau?”
“hn.” Jawab Ervan singkat sambil meminum kembali Coke ditangannya itu.
Tapi temannya itu tidak menyerah, “pernahkah kau menyadari perasaanmu kepadanya lebih dari sebatastemanmu sejak kecil?”
Kini Ervan terdiam. Matanya menatap kaleng Coke kosong yang isinya kini sudah berpindah ke perutnya.
“Jadi apa kesimpulanmu?” tanya Ervan. Tangannya melempar kaleng coke kosong itu ke dalam tong sampah di pojok ruangan.
“Kau menyukainya, bodoh.”
Tujuh…
“Hei Olivia, kau lihat Luna?”
“Oh, hei Ervan. Tadi dia sedang di perpustakaan,” Jawab seorang gadis berkeperawakan laki-laki itu.
“Thanks.”
Kata Ervan seraya melangkahkan kakinya ke perpustakaan. Sesampainya
disana, Ervan melihat punggung gadis yang tengah dicarinya itu sedang
menghadap rak buku.
“Hey, Lu…” Lidah Ervan tiba-tiba
menjadi kelu. Badannya tidak bisa digerakan. Mulutnya ternganga. Matanya
terbelalak melihat gadis itu kini tengah berbincang-bincang akrab
dengan seorang laki-laki di sebelahnya. Sesekali gadis itu tersenyum,
menampakan senyum termanis yang dimilikinya.
Ervan membalikan badannya lalu pergi dari tempat itu. Tangannya mengacak-acak rambutnya dengan keras.
“Sial. Aku ini kenapa sih?”
Enam…
“Kyaaa… Ervan!!!”
“Kak Ervan kumohon terimalah cokelat ini!!!”
“Hei, Kak Ervan itu milikku!!”
“Kalian adik kelas diam saja! Cokelat yang boleh dimakan Ervan hanya cokelat buatanku saja!”
“tidak bisa begitu!”
Ervan berusaha menghindari kerumunan gadis-gadis yang sedang mengerubunginya itu.
“valentine itu memang merepotkan sekali,” batinnya kesal. Tiba-tiba matanya menangkap sosok yang tengah menatap dirinya.
“I’m
sorry ladies, but I must go now!” kata Ervan sambil berjalan, membelah
kerumunan gadis yang sedang tercengang. Mata gadis-gadis itu mengikuti
gerak Ervan yang sedang berjalan mendekati seseorang.
“Cih, lagi-lagi Luna.” Kata seorang gadis sambil melempar tatapan tidak suka.
.
“sedang apa kau disini?” tanya Ervan kepada Luna yang sedang berdiri di ujung koridor sekolah.
Luna
menggenggam erat cokelat yang sedang dipegangnya, “eh anu… tadinya aku
mau memberikan cokelat untuk… untuk… seseorang! Ya seseorang! Tapi
karena orang itu mungkin sekarang sudah punya banyak cokelat jadi yaa
aku…”
“untukku saja!” Kata Ervan memotong perkataan Luna.
Di rebutnya cokelat yang dipegang gadis itu lalu cepat-cepat dimasukan
kedalam tasnya.
“ayo sekarang kita pulang,” kata Ervan
sambil menarik tangan Luna. Tanpa Ervan ketahui, kini Luna tengah
tersenyum malu menatap punggung teman masa kecilnya itu.
Lima…
“Ervan,
boleh kutanya sesuatu?” tanya seorang gadis berambut cokelat. Gadis itu
kini tengah menatap langit sore dari atap sekolah.
“Silahkan.”
“Menurutmu aku itu gimana orangnya?”
Ervan terdiam sejenak. Lalu menjawab pertanyaan Luna dengan satu tarikan nafas.
“Kamu
itu… cengeng, manja, bodoh, lamban, keras kepala, egois, tukang tidur,
tukang telat, kalau dilihat ngga ada bagus bagusnya sih.”
“Ervanthe
Julian Amstrong!!!” Luna menggembungkan kedua pipinya membuat Ervan
yang melihatnya terkekeh pelan. Tapi kemudian rautnya kembali menjadi
serius.
“tapi aku…”
BRAK!!!
“Luna! Tak ingatkah kau bahwa hari ini ada kegiatan
klub?!!!” Seorang gadis pirang mendobrak pintu atap sekolah kemudian
menarik tangan Luna untuk bangun.
“Ya ampun Michelle, aku lupa!” Luna menepuk jidatnya. Tubuhnya masih ditarik oleh temannya yang kesal itu.
“Maafkan aku Ervan kita lanjutkan nanti ya…” Luna menutup pintu meninggalkan Ervan sendirian dalam kesunyian.
Ervan menghela nafasnya.
“Tapi aku… menyukai kau yang seperti itu.”
Empat…
Ervan
melihat jam tangannya untuk yang kesekian kalinya. Sudah setengah jam
dia menunggu Luna untuk turun dari kamarnya. Hari ini Luna akan pergi ke
kota tua untuk mengadakan observasi. Meskipun dia tidak ada sangkut
pautnya dengan observasi yang Luna lakukan, Ervan meneguhkan hatinya
untuk tetap berada disamping Luna.
“Ervan kenapa kamu ikut?” tanya Luna pertama kali saat melihatnya duduk di ruang tamu.
“Tidak
apa-apa. Aku ingin melihatmu melakukan observasi.” Jawab Ervan asal.
Pria itu tidak ingin Luna tau maksud yang sebenarnya.
“Melihat observasi? Apanya yang dilihat?” gadis itu menatap mata Ervan.
Ervan
mengalihkan pandangannya dari mata Luna. “Yah, macam-macam. Barang kali
saja aku menemukan hal baru untuk menambahkan ke dalam makalahku.”
Ervan melirik Luna yang kini sedang melihat kearah lain.
“Aku hanya ingin melindungimu,” gumam Ervan sangat pelan.
Tiga…
“Ervan
…” kata Luna disela isak tangisnya, “mengapa kau menembak terali besi
itu? Kenapa?!! Sekarang aku kehilangan satu sahabatku lagi, kau tau?!!”
“Kau gila?!” sergah Ervan, “kita bisa terbunuh kalau aku tidak melakukan hal itu!”
“tidak
adakah cara lain untuk menghentikannya selain membuat dia menghembuskan
nafas terakhirnya?!! Apakah kau senang melihatku sendirian lagi?!!”
“Luna … aku …” Ervan mencoba menjelaskan.
“Ervan… aku membencimu …” lirih Luna.
Dua…
“Apa?!” desis Ervan tidak percaya.
“Aku benci padamu…”
Satu…
“Aku benci padamu…”
Nol.
Ervan hendak menekan pelatuk pistolnya agar peluru pistol itu menembus kepalanya mengenai otaknya. Tapi tiba-tiba…
“Hentikan!”
Ervan
membatu. Telunjuknya berhenti menekan pelatuk pistol. Diturunkan
tangannya dan matanya dialihkan kepada sumber suara yang menyuruhnya
berhenti.
Matanya membulat begitu melihat sosok berambut pirang tengah melayang dihadapannya.
“Ka… Kau?!!”
“Jangan bunuh diri. Bunuh diri tidak akan menghindarimu dari kutukan MORTE.”
Ervan
memicingkan matanya. Menatap sosok yang ada dihadapannya. Sosok ini
mirip sekali dengan Tania. Hanya saja orang ini memakai gaun berwarna
putih.
“Kau… Tania?” tanya Ervan. Gadis itu hanya tersenyum.
“Ikutlah denganku, aku akan memberi tahu sesuatu,” gadis itu menjentikkan jarinya. Tiba-tiba sekeliling Ervan menjadi gelap.
.
.
.
KINI
mereka berada di sebuah ruangan bernuansa putih. Ervan duduk di sofa
putih menunggu gadis pirang yang mirip Tania itu kembali.
“Kau mau teh?” Tanya gadis itu menyodorkan secangkir teh.
“Terima kasih.” Ervan meminum teh tersebut. Ada rasa hangat menjalar ditubuhnya.
Gadis itu duduk di sebelah Ervan. “Jadi apa yang mendorongmu untuk bunuh diri seperti tadi?”
Ervan hanya diam. Gadis itu menunggu dengan sabar sampai Ervan mau membuka mulut.
“Sebelum itu…” Ervan mulai membuka mulutnya. “beri tahu aku, apa yang terjadi pada kota ini.”
“bisakah aku bertanya terlebih dahulu? Apa yang kau ketahui tentang kota ini?” tanya gadis pirang itu.
“jika sampai terdengar lonceng gereja berbunyi maka kota ini akan berubah menjadi kota yang mengerikan.” Jawab Ervan.
“Baiklah, itu tidak sepenuhnya salah.” Kata gadis itu sambil menganggukan kepalanya.
“Ervan, kau percaya pada penyihir?” Tanya gadis itu lagi.
“hanya dongeng anak-anak,” Jawab Ervan sambil acuh tak acuh.
“tapi, itulah yang terjadi pada kota ini.”
Ervan kembali menatap mata gadis pirang itu dengan tatapan tidak percaya. “Apa maksudmu?”
“Dulu,
kota ini berisikan manusia dan penyihir. Hubungan manusia dengan
penyihir itu masih baik-baik saja. Bahkan sangat baik. Mereka hidup
berbaur satu sama lain tidak membeda-bedakan jenis.
“waktu itu,
ada seorang pria bangsawan yang katakan saja jahat, mengurung putrinya
untuk keluar dari rumah. Kau tau kenapa? Karena bangsawan itu merupakan
penyihir yang paling hebat di muka bumi ini. Dan putrinya itu, tentu
saja pewaris dari penyihir ternama itu memiliki kekuatan sihir yang
lebih besar daripada ayahnya.
“Ayahnya melarang dia untuk keluar
dari mansion mereka. Tentu saja gadis itu menolak. Suatu hari dia kabur
dari rumah dan bertemu dengan seorang pemuda dari kota. Pemuda itu
seorang pembuat senjata. Pemuda itu menyelamatkan gadis itu dari kejaran
para pengawal. Alhasil, mereka pun saling jatuh cinta.
“tapi
mereka tidak boleh bersatu. Kau tau kenapa? Karena pemuda tersebut
manusia biasa. Pada waktu itu, aturan manusia biasa tidak boleh bersatu
dengan penyihir sangatlah ketat.
“Setelah mengetahui putrinya
telah menikah dengan seorang manusia biasa, sang pria bangsawan itu
sangat marah. Dia mengerahkan seluruh penyihir untuk mencari putrinya
yang kabur.”
“Apakah gadis itu ditemukan?” tanya Ervan.
“tidak,
karena sudah kukatakan tadi. Gadis itu memiliki kekuatan sihir lebih
besar daripada ayahnya. Dia dapat menggunakan sihirnya itu untuk
menyembunyikan dirinya dari kejaran ayahnya.
“tapi sesuatu yang
buruk terjadi. Ayahnya itu menjual jiwanya kepada kekuatan hitam untuk
mencari putrinya. Akhirnya putrinya itu ditemukan dan diseret pulang.
“sesampainya
di mansion mereka, sang ayah dan putrinya bertengkar hebat. Bahkan
perang menggunakan sihir. Terang saja gadis itu kalah. Karena kekuatan
ayahnya kini menjadi lebih besar daripada miliknya.
“Karena
kejadian itu, orang orang kota menjadi benci kepada penyihir. Karena
para penyihir itu merusak kota ketika mencari putri bangsawan yang
kabur.
“jadi, sistim kehidupan kota ini dibagi dua. Kota manusia
dan kota penyihir. Kota manusia mengambil waktu siang. Dan kota penyihir
mengambil waktu malam. Sejak saat itu mereka menjadi bermusuhan bahkan
membunuh satu sama lain. Rakyat di kota ini habis dibantai oleh para
penyihir. Menjadikan kota ini tidak layak pakai lagi. Tapi sewaktu-waktu
ketika lonceng gereja berbunyi, maka kota mati itu berubah menjadi kota
penyihir.”
“kau bisa beritahu aku dimana gadis bangsawan beserta suaminya itu bersembunyi?” Tanya Ervan.
“Di rumah tempat dimana baju dan senjata yang kau pakai itu diambil.”
“Oh rumah itu?! Pantas saja, rumah itu terlihat lebih utuh ketimbang bangunan-bangunan yang lain!”
“nah, Ervan. Tahukah kau kekuatan yang terkuat itu apa?” tanya si gadis pirang.
Ervan menggelengkan kepalanya. Gadis pirang itu tersenyum.
“Kekuatan untuk melindungi seseorang.”
Ketika dilihatnya Ervan diam, gadis itu tersenyum lagi. “Berjuanglah, dan lindungi orang yang terpenting untukmu.”
Ervan
mengangguk, dia menggenggam gelas yang dia pegang lebih erat lagi.
"akan kulindungi, meskipun aku harus kehilangan nyawaku."
Gadis
pirang itu tersenyum, Ervan memperhatikan wajah gadis di sebelahnya itu.
wajah cantiknya benar-benar seperti Tania. Hanya saja gadis ini lebih
sering tersenyum ketimbang Tania.
"Kau masih punya hutang jawaban
kepadaku." gadis itu menepuk pundak Ervan. "Alasan apa yang membuatmu
berniat bunuh diri seperti tadi?"
.
.
.
LUNA
menggigit bibirnya mendapati Ervan belum kembali sejak tadi malam.
Dirinya mengkhawatirkan Ervan. Bagaimana kalau pria itu mati diserang
chain? Luna tidak bisa menenangkan pikirannya.
Tiba-tiba pintu
terbuka. Luna mendapati Ervan masuk kedalam ruangan tempatnya dan Tania
menunggu. Luna ingin berlari memeluk Ervan, menghilangkan rasa
kahawatirnya terhadap pria itu. Tapi badannya itu tidak mau bergerak.
Menolak keinginian hatinya itu.
“Darimana saja kau?” Tanya Tania dingin.
“Cuma mencerahkan hati,” jawab Ervan asal kena.
Luna hanya bisa memandang Ervan. Dia menyadari bahwa Ervan sama sekali tidak mengarahkan pandangannya padanya.
Ervan menutup mulutnya. Kejadian yang baru saja dialaminya cuma dia saja yang boleh tau.
Mereka menyiapkan senjata yang akan mereka bawa. Dan bersiap-siap untuk berperang kembali.
“Ayo pergi,” Ervan menggenggam senapannya. “Kita keluar dari tempat ini.”
Mereka membuka pintu ruangan itu dan menemukan chain-chain level A sedang berkeliaran. Ervan melirik Luna.
“Aku telah menemukan orang terpenting yang harus kulindungi.” Batinnya.