Saturday 18 May 2013

Your Shining Smile - Trailer



Berawal dari sebuah tabrakan di suatu pagi.

“Aduh!”
.
“Liat-liat kalau jalan, miskin!”
.
“Kau baik-baik saja?”

Benih-benih cinta bermunculan.

“Siapa yang menyimpan lukisan ini disini? Kenapa wajahku ada di dalam lukisan ini?”
.
“Aku menyukaimu, Miyu!”

Persahabatan yang mulai retak…

“Kumohon Miyu, jauhi Hideki-kun…”
.
“Yuri-chan? K… kenapa?”

… Karena cinta.

 “… Kau tau? Aku bersyukur telah memutuskan tali persahabatan kita.”
.
“Kalau Miyu tidak bisa membahagiakanmu, putuskan dia dan datanglah kepadaku!”

Sebuah pengakuan yang begitu sulit diterima.

“Memangnya kenapa jika aku yang membuat lukisan itu?!”
.
“Kau? Tidak mungkin…”
.

Kebimbangan diantara persahabatan dan cinta.

“Yuri, aku tidak bisa menjauhinya…”
.
“Kumohon Hideki-kun, aku tidak bisa melanjutkan ini lagi…”
.
“Hiks… Tidak bisakah kau melihat aku disini, Hideki-kun? Aku yang selalu menunggumu.”

Kepercayaan rapuh yang mulai dibangun perlahan.

“Demi Tuhan! Kau bisa benci aku tapi kumohon jangan lakukan ini!”
.
“Percayalah padaku.”
.
“Jangan lepaskan aku, Asuka.”
.
“Kau bodoh?! Aku memang tidak akan melepaskanmu...”

Ketika cinta tak bisa dimengerti.

“Apa kau keberatan jika aku mencintaimu?”
.
“Kau memang tak peduli, tapi bagaimana denganku?”
.
 “Kau tau siapa yang kau cintai, tetapi kau tidak mau mengakui itu. Jangan terlalu naif!”

Membuat setiap masalah semakin rumit

“Sahabat? Maksudmu mantan sahabat?”
.
“Yuri-chan, Miyu-chan tidak pernah bermaksud…”
.
“Kau katakan itu karena kau menyukai Asuka kan? Jangan munafik!”
.
“Aku tidak…”
.
“Tutup mulutmu Yuri! Aku lebih mengerti perasaan Miyu dibandingkan dirimu!!!”
.
“JANGAN LEMAH, TOLOL! SELAMA AKU MENGENALMU AKU TIDAK PERNAH MELIHATMU MENYERAH SEPERTI INI!!!”
.
“Karena itu, kumohon… kembalikan persahabatan kami seperti semula…”

.

.

.
Character and Story by Adinda Azka Nur Fathya:

Miyuki Iwasawa
.
“Demi Tuhan, aku tidak tau siapa yang harus aku pilih…”


Asuka Naoi
.
“Aku bukanlah aku yang kau lihat selama ini.”


Hideki Akamon
.
“Miyu, aku mencintaimu!”


Yuri Nakajima
.
“Padahal aku lebih mencintaimu…”


Megumi Irie
.
“Aku ingin persahabatan kita kembali seperti semula…”

.

.

.

Romance, Drama, Hurt/Comfort, Friendship.
T Rated
.

.

.

Your Shining Smile
.

.
.

COMING SOON
2013

Monday 13 May 2013

M.O.R.T.E: The Death Chase (Chapter 7)


Holaaaaa~!! hai, kangen aku? kangen aku? hehe oke aku tau kalian pengen banget ngegaplok aku gara-gara super lama sekali meng-update morte. Maaf yaaa /bow
Dan maaf juga kalau ternyata morte yang kali ini agak mengecewakan, soalnya emang digeder banget. Tata bahasanya juga acak-acakan yaaa bisa dibaca sendiri.
Selamat membaca dan enjoy ;)

©Adinda Azka/Original Net Novel [ONN]
( All names of characters, title, and all of the story is licensed by Adinda Azka)

Title : M.O.R.T.E : The Death Chase 
Chapter : 7. Separated Twins
Genre : Mystery, Action, Horror, Romance, Supernatural, Fantasy.
Rating : Buat manusia yang udah bisa mencerna misteri murahan (?)

WARNING: Bahasa Innalillahi, kebanyakan dialog, alur acakadut, tokoh kurang mendukung, miss typo, cerita garing, monoton, misteri ga rame , dan masih banyak kewarningan yang lain (?)






“Tuanku, sampai kapan kita harus menunggu?”

“Cukup lakukan saja perintahku dan jangan banyak tanya.”

“Kehormatan bagiku untuk melaksanakan perintahmu, tuan.”

.

.

.

M.O.R.T.E
-Chapitre 7-
“Separated Twins”
Adinda Azka
©2013
                                                                                                                                                                         
.

.

.


Heureux, Untold World.
                “Sudahkah ada kabar dari mereka?” seorang wanita bermata obsidian menatap cemas seorang pria bertubuh tegap. Pria itu menggelengkan kepalanya, matanya menatap layar dari Macbook putih miliknya, “Tak ada yang bisa kulakukan lagi. Aku mencoba melacak keberadaan mereka, dan hasilnya nihil.”

                Wanita itu memejamkan matanya dan menghela nafas, “ini sudah kedua harinya mereka mengilang tanpa jejak. pihak kepolisian sudah mengerahkan pencarian ke berbagai penjuru. Tapi mereka belum berhasil ditemukan.”

                “Fraise…”pria itu memanggil wanita disebelahnya. Matanya masih menatap macbook putih di hadapannya dengan tatapan menerawang

                “hn?”

                “Apakah ini ulah dia?”

                “Dia? Siapa dia?”

                Priaitu mengacak-acak rambut brunette-nya, “Ayolah, kau tau maksudku.”

                Wanita itu terdiam, keningnya berkerut membentuk empat siku, tanda ia sedang berfikir.Hingga akhirnya dia mendesis, “Dia…”

                “Kau benar.”

                Fraise menghela nafas, “sudah 10 tahun. Sejak kita mengambil Luna sebagai anak.”

                Pria yang kini diketahui adalah suami dari Fraise, kini membuat senyum simpul dibibirnya, “Luna kini tumbuh menjadi seorang gadis yang ceria. Syukurlah. Karena keadaannya saat kita menemukannya 10 tahun lalu sama sekali tidak bisa dibilang baik.”

                Melihat suaminya tersenyum, Fraise ikut mengeluarkan senyumannya, “itu berkat anak dari temanmu, Chris.”

                Chris menaikkan sebelah alisnya, “Ervan?”

                Fraise menjentikkan jarinya, senyum di bibirnya semakin mengembang, “tepat!”

                Chris mengedikkan bahunya, “aku tidak tau bahwa Ervan memiliki pengaruh yang kuat bagi Luna.”

                “Firasatku mengatakan…” Fraise menyandarkan kepalanya pada bahu Chris, “… Pria terbaik untuk Luna adalah dia. Ervan adalah pria yang ditakdirkan untuk Luna.”

                Chris tersenyum, tangannya mengusap lembut rambut Fraise, “dan firasatmu tidak pernah meleset.”

.

.

.

                Morne, Untold World.
                Ervan mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Matanya mencari-cari suatu kenyataan yang mungkin masih bisa ditemukan olehnya. Tiba-tiba matanya tertarik kepada sesuatu yang ganjil di sudut ruangan.

                Matanya yang tajam melihat sebuah tonjolan pada dinding. Ervan berjalan mendekati tonjolan tersebut. Jemarinya menekan-nekan tonjolah tersebut. Seperti sihir,dinding disebelah tonjolan tersebut bergerak dan membuat sebuah lubangberukuran 15x15cm menganga di hadapannya.

                Ervan mengulurkan tangannya kedalam lubang itu. Tiba-tiba tangannya mengerjang, dia menemukan secarik kertas didalam lubang tersebut. Ervan menggenggam kertas itudan menariknya keluar. Kertas itu terlihat kusam dan hampir hancur. Ervan membaca tulisan pada kertas itu.

                Dia tahu segalanya.
                Dia ada di dekatmu.
                Lebih dekat daripada urat nadimu sendiri.

                Ervan hanya bisa diam. Memikirkan apa maksud dari ketiga kalimat pada kertas tersebut. Ervan memejamkan matanya, lalu dia teringat sesuatu. Ervan membuka matanya dan mendesis, “…Dieu*.”

Tiba-tiba, secara perlahan tapi pasti secercah cahaya muncul dari dalam lubang darimana kertas itu didapatkan. Ervan menjulurkan kembali tangannya, menangkap cahaya tersebut.

Setelah dirasakan cahaya tersebut tergenggam olehnya, Ervan menarik tangannya kembali.Ervan membuka tangannya, dan melihat sebuah kalung dengan liontin berbentuk dua ekor naga yang saling bersilangan seolah-olah melindungi satu sama lain. Mata Ervanmenangkap kilauan memancar dari celah kedua naga tersebut. Ternyata kilauan ituberasal dari sebuah permata berwarna turquoise. Begitu indah dan misterius.
Ervan mengagumi kalung tersebut sebelum memasukan kedalam tas kecilnya dengan gerakansigap. Ervan melangkahkan kakinya keluar dari ruangan tersebut, pikirannyamasih disibukkan dengan kejadian-kejadian yang baru saja dialaminya.

.

“Sudahlah Luna…”

Tania menepuk-nepuk pundak Luna yang masih gemetaran. Tetapi Luna tidak bisa menghentikan tangisannya.  Terlalu banyak hal menyedihkan yang telah menimpanya.

Tania nyaris putus asa ketika dilihatnya Ervan datang menghampiri mereka, “Sst sudahlah! Lihat Ervan datang, jangan sampai kau membuatnya bingung dengan matamu yang basah itu.”

Kalimat itubagaikan sebuah mantra bagi Luna. Dua detik kemudian gadis itu sudah tidak terisak lagi walaupun matanya masih sembab. Ervan menyadari ada yang tidak beres dengan kedua gadis di depannya. Tetapi egonya tetap menolak untuk bertanya lebih lanjut.

“Informasi apayang kau dapatkan, Ervan?”

Maria Angela D’Legere”

Tania menahan nafasnya, “Aku tahu nama itu! Itu nama nenekku!”

“Benarkah?!”Ervan membulatkan matanya, “Kalau begitu nama ibumu Marrybelle Elizatania D’Blanche?”

Tania mengangguk cepat, “Tepat!” Tapi tiba-tiba, Tania mengerutkan keningnya, “tapi tunggu dulu, ada yang aneh dengan nama nenekku, kenapa beliau tidak memakai marga suaminya?”

Kali ini Luna membuka mulutnya, “Maksudmu kakekmu? Apa nama marganya?”

“Sama seperti ibuku dan aku, D’Blanche.” Taniasemakin mengerutkan keningnya, “Aku tidak mengerti, ibuku juga setelah menikah dengan ayahku tidak mengganti nama belakangnya menjadi Le’ Noir.

Le’ Noir!” Luna berseru keras. Tania menatapnya heran, “ada apa?”

“Nama ayahmu… PierreLe’ Noir?” Tanya Luna ragu-ragu. Tania semakin menatapnya heran, “Ya, kau mengenalnya?”

“Tidak, tapi aku…” Tatapan Luna menerawang, tiba-tiba sekelebat bayangan kembali menyerbu merasuki pikirannya.

Seorang bocah kecil bermata emerald, sedang dipangku oleh pria berambut gelap. Pria itu memiliki warna mata yang sama dengan bocah yang sedang dipangku olehnya. Pria itu tersenyum, sementara bocah dipangkuannya tertawa bahagia. Momen itu terus berjalan sampai seorang wanita berambut pirang datang, dan membuat semuanya menjadi kabur.

Luna mengerjapkan matanya, tidak mengerti dengan apa yang dilihatnya barusan. Kenapa rasanya pria itu begitu familiar baginya. Dan kenapa… Ia begitu merindukannya?

Sebuah tepukan mendarat di bahunya. Luna tersadar dari lamunannya kini menatap wajah pemilik tangan itu.
“Kau baik-baik saja?” tanya Tania cemas. Luna mengangguk pelan.

“Ayo,” Ervan membuka mulutnya. Tania dan Luna hanya memandanginya heran.

Ervan mulai melangkah. Tatapan matanya menjadi dingin. Ia mengambil senapan yang tergantung di punggungnya.

“Kita pergi ketempat dimana seharusnya kita berada.”


.

.

.

Ervan menjengukkan kepalanya ke luar ruangan untuk melihat keadaan sekitar. Setelah dirasanya cukup aman, ia memberikan kode kepada dua gadis dibelakangnya untuk mengikutinya. Mereka berjalan nyaris tanpa suara. Tangan mereka terus memegang senapan, bersiap-siap jika ada chain yang tiba-tiba menyerang.

Tapi sejauh ini belum ada tanda-tanda munculnya chain. Sampai akhirnya mereka sampai didepan sebuah pintu.
Ervan memegang knop pintu tersebut. Kini Ia memalingkan mukanya, menatap wajah dua gadis yang sedari tadi mengikutinya. Mereka mengangguk dan Ervan mulai membuka pintu tersebut.

Tampak sebuah ruangan luas seperti aula. Berdinding abu-abu. Tampak mewah, elegan namun suram. Ada aura tidak menyenangkan menyergap mereka bertiga ketika pertama kali menapakkan kaki ke dalam ruangan tersebut.

Namun bukan hal itu yang membuat mereka tersentak kaget, melainkan sesosok wanita yang tengah berada di sebuah tabung besar berisikan air di salah satu sisi ruangan tersebut.

“Mama!!!” Tania berlari menghampiri tabung air tersebut. Tangannya memukul kaca tabung didepannya, berharap wanita di dalam tabung tersebut membuka matanya. “Mama!Mama! Mama!”

Luna tersentak,gadis itu sangat terkejut. Wanita di dalam tabung tersebut dan gadis yang sedang memukul-mukul tabung tersebut sangatlah mirip. Seperti pinang dibelah dua. Tidak ada yang menyangka bahwa sebenarnya mereka adalah ibu dan anak. Lainhalnya dengan Ervan, Ervan tidak terkejut seperti Luna karena dia sudah melihatsosok itu sebelumnya.

“Mama!” Tania masih memukuli tabung tersebut, “Sialan!”

Ervan melangkah maju, “Mundur Tania!” Pria itu mengambil senapan yang tergantung dipunggungnya. Ervan mengarahkan senapannya pada tabung itu dan menembakkannya berkali-kali. Timbul retakan pada dinding tabung kaca tersebut. Tak menunggu lagi, Tania menendang dengan kekuatan penuh tabung itu sampai pecah. Dengan segera Tania menangkap tubuh yang selama ini terkurung di dalam tabung itu dan menidurkan dipangkuannya.

Tania menekan puncak kepala sosok itu sambil membacakan mantra. Selang beberapa lama, manik sapphire itu terbuka.

"Louange à Dieu** ,Mama…"            

Tania memeluk sosok mamanya yang selama ini menghilang dengan rasa haru. Sementara sosok itu masih terlalu lemas untuk bergerak memaksakan tangannya untuk mengelus puncak kepala putrinya.

“Tania kau baik-baik saja?” Luna dan Ervan berlari menghampiri dua sosok serupa tapi tak sama tersebut.

Tania mengangguk. Sementara sosok yang didekapnya itu bangkit, melihat Luna dengan tatapan lekat. Bibirnya tersenyum.

“Sudah lama kita tidak berjumpa ya…”

“Eh? Apa kita pernah bertemu?” Luna mengangkat sebelah alisnya. Heran.

“Kau lupa?Waktu itu kau sempat masuk ke dunia mimpi dan bertemu denganku. Mimpi yang menimbulkan goresan morte di tanganmu itu.”

Luna tersentak. “Aaah! Aku ingat. Aku senang kita bisa bertemu kembali Nona—eh,Nyonya?”

“NamakuElizatania,” Sosok itu kembali tersenyum.

“Baiklah, Nyonya Elizatania…”

Elizatania mengangkat alisnya dan sedikit terkekeh, “Kau, dasar anak durhaka. Berani memanggil ibumu dengan panggilan seperti itu?”

Hening.Terlalu hening sampai semuanya angkat bicara.

“Apa?!”
.

.

.

“K.. kau ibuku?” tanya Luna tidak percaya. Rasa penasarannya semakin membuncah ketika dilihatnya sosok yang mengaku ibunya itu tersenyum, “Kenapa?”

“Apa maksudmu, Ma?” Tania pun tidak kalah heran.

“Iya, Kau— Tania dan Luna sebenarnya adalah sepasang anak kembar,” Elizatania menjelaskan. “Dan Luna, namamu sebenarnya bukan Luna tapi Eliza.”

“Eliza?”

“Diambil dari namaku Elizatania. Eliza dan Tania, nama untuk sepasang anak kembar.”

“Tapi nyonya, Luna dan Tania samasekali tidak mirip,” Ervan ikut angkat suara.

“Ya, itu bisa terjadi. Gen Tania menurun dariku, sementara Eliza dari ayahnya.”

“Umm.. boleh aku tanya sesuatu? Apa suamimu itu pria dengan mata hijau dan rambut cokelat gelap?” Tanya Luna pelan. Rasa penasaran masih menghantuinya.

“Ya, kau tau?”

“Aku pernah sekelebat melihat bayangan dirinya sedang memangku anak kecil yang ciri-ciri fisiknya hampir sama dengannya,” Jawab Luna.

Elizatania tersenyum, “Anak kecilitu kau, Eliza. Dan pria itu bernama Pierre. Dia ayahmu.”

Sebulir air mata turun membasah ipipi ranum Luna.

“Kau baik-baik saja?” Tanya Ervan khawatir. Luna mengangguk, “Entahlah, rasanya membingungkan…aku bahagia telah mengetahui orang tuaku yang sebenarnya. Tapi rasanya aneh…entahlah…” Luna semakin menangis.

Elizatania merengkuh tubuh putrinya, “Sst.. maafkan Mama ya? Mama tidak bermaksud membuangmu. Tapi Mama hanya ingin kau dan Tania hidup selamat.”

Lunamengangguk pelan, “Mama… mama… mama…”

Tania ikut memeluk dua sosok yang saling merengkuh satu sama lain itu. “Hai saudara kembarku. Aku bersyukur ternyata aku bukan anak tunggal…”

Ervan hanyak bisa terdiam melihat semua ini.

Tiba-tiba suara tepuk tangan memenuhi ruangan itu membuat semuanya tersentak kaget.

“Bravo! Bravo! Drama yang bagus sekali, benar-benar membuatku geli!” Sosok tegas dan tegap perlahan muncul dari balik tirai. Elizatania mengerjang begitu mengenali siapa sosok tersebut.

“Papa…”


.

.

.

*Tuhan
**Puji Tuhan

M.O.R.T.E: The Death Chase (Chapter 6)

Bonjour :) makasih buat yang udah setia nungguin cerita morte yang gajelas kapan tanggal updatenya. Jangan pernah bosen ok ;) oh ya disini saya mau sedikit memohon kepada para pembaca agar tidak lupa memberi komen setelah membaca. Apakah anda tau, komen, saran ataupun kritik dari anda sekalian itu sangat berpengaruh pada hasil tulisan saya? Oleh karena itu saya memohon dengan sangat agar anda sekalian memberikan komen terhadap tulisan yang saya buat.
Merci :D
Enjoy
Ps : aku ngetik cerita ini sambil dengerin lagu Ponyo yang diputer terus terusan loh… *ga matching abis*


©Adinda Azka/Original Net Novel [ONN]
( All names of characters, title, and all of the story is licensed by Adinda Azka)

Title : M.O.R.T.E : The Death Chase 
Chapter : 6. This Is The Fate
Genre : Mystery, Action, Horror, Romance, Supernatural, Fantasy.
Rating : Buat manusia yang udah bisa mencerna misteri murahan (?)

WARNING: Bahasa Innalillahi, kebanyakan dialog, alur acakadut, tokoh kurang mendukung, miss typo, cerita garing, monoton, misteri ga rame , dan masih banyak kewarningan yang lain (?)




“Ayo pergi,” Ervan menggenggam senapannya. “Kita keluar dari tempat ini.”
Mereka membuka pintu ruangan itu dan menemukan chain-chain level A sedang berkeliaran. Ervan melirik Luna.
“Aku telah menemukan orang terpenting yang harus kulindungi.” Batinnya.
.

.

.

M.O.R.T.E
-Chapitre 6-
"This Is The Fate"
AdindaAzka
© 2011

.

.

.

Morne, Untold World.
HANYA ada tiga orang yang bertahan selama ini. Mereka adalah Luna Rayon, Lisatania Blanc dan Ervanthe Julian Amstrongsatu-satunya pria yang bertahan di kota tersebut. Mereka terus berusaha bertahan hidup agar dapat pulang ke tempat dimana mereka seharusnya berada sekarang.
Mereka terus menembaki chain-chain yang datang menyerang tanpa belas kasihan. Taniaseorang gadis cantik berambut pirang, menjadi otak dari kelompok mereka dalam menyerang chain yang ada. Kehebatan bertarungnya tidak bisa dipungkiri lagi. Gerakan tubuh yang lincah dan otak yang bekerja cepat menjadikannya sebagai gadis perfect yang dapat diandalkan.

DOR!!!

Sebuah peluru melesat dan menembus kepala chain, satu detik kemudian chain tersebut berubah menjadi debu yang berterbangan.
Posisi mereka saat ini sudah mendekati puncak dari mansion yang menyerupai kastil tersebut.
“Tania! Disini ada tangga, apakah kita langsung ke atas saja?” Tanya seorang gadis bermata jade yang kita kenal sebagai Luna.
Tania menjawab pertanyaan Luna dengan anggukan singkat tanpa mengalihkan pandangan dari chain-chain yang terus berdatangan.

DOR!
DOR!
DOR!

Tiga tembakan itu menghabisi chain-chain yang tersisa. Tania memasukan gun-nya kedalam kantung kecil yang dia ikat di pinggang. Dengan sigap dia menangkap tangan Luna yang hendak menaiki tangga.
“tunggu dulu.” Matanya kini beralih kepada pintu kayu berwarna cokelat tua yang terpasang kokoh tidak jauh dari mereka. “disini ada pintu, firasatku kita harus masuk dulu ke dalam ruang dibalik pintu ini.”
Ervan mencoba membuka pintu tersebut tetapi hasilnya nihil. Pintu itu seperti yang terkunci. Ia mencoba mendobrak pintu tersebut, tetapi hasilnya juga nihil. Pintu itu terpasang kuat sekali walaupun sudah bertahun tahun.
Tiba-tiba Luna beranjak dari tempatnya. Tangannya memegang gagang pintu itu tanpa ragu-ragu. Tetapi begitu kulitnya menyentuh besi yang merupakan pegangan pintu tersebut, sekelebat gambaran datang menyerbu pikirannya, mengaburkan pandangannya. Luna tersentak dan memejamkan matanya, berharap agar sesuatu yang menyerangnya tadi hanya merupakan halusinasi saja.
Tetapi harapannya itu tidak terkabul. Begitu dia membuka matanya dia melihat daerah sekelilingnya berubah.
“Ini dimana?” Luna tersentak merasakan kakinya tidak menyentuh tanah. Lalu Luna mengalihkan ke sekelilingnya. Mencerna apa yang bisa dia cerna. Dia melihat sebuah taman luas dimana bunga yang berwarna-warni mengiasi taman luas itu. Di tengah-tengah taman tersebut terdapat gazebo mewah bercat putih dimana pada dinding-dinding gazebo tersebut dirambati oleh bunga merambat yang berwarna-warni.

“Zephyrus…” seorang wanita berambut silver berjalan dengan anggun. Tangan pucatnya mengangkat gaun mewah yang dia pakai untuk memperluwes kakinya untuk berjalan. Cepat tapi masih tetap anggun. Mata emeraldnya menelusuri taman tersebut, seperti mencari sesuatu.

Luna bergerak mendekati wanita itu. Setelah dirasakannya cukup dekat Luna memberanikan dirinya untuk membuka mulut. “Anu… maaf, bisakah anda memberitahu saya ini dimana?” Tanya Luna penuh kesopanan. Tetapi setelah dilihatnya wanita itu seperti tidak mendengarnya Luna mencoba untuk menyentuh wanita itu. Alangkah kagetnya Luna begitu mengetahui bahwa dirinya tidak bisa menyentuh wanita silver dihadapannya itu. Luna mencoba menyentuh lagi tetapi hasilnya tetap sama.
“Aneh, dia tidak bisa mendengarku dan aku tidak bisa menyentuhnya. Ada apa ini?” batin Luna.

“Zephyrus, dimana kau? Ini aku. Hanya aku,” wanita itu kembali membuka mulutnya. Tiba-tiba raut wajah wanita itu berubah cerah ketika melihat seorang pemuda muncul dari balik pohon.
“Maria…” pria itu mengeluarkan suara baritonnya. Dia menghampiri wanita yang dipanggil Maria itu. Pria itu mengulurkan tangannya, menarik wanita itu agar masuk ke dalam dekapannya.
“Bagaimana kau bisa datang kemari?” Tanya pria yang bernama Zephyrus itu. Maria menyambut pelukan Zephyrus. “Aku kabur dari rumah.”
Zephyrus membelai rambut silver Maria. “kenapa kau nekat, Maria?”
Maria hanya memejamkan matanya dan menghela nafasnya. “kau sudah tau jawabanku, bukan?”
Zephyrus hanya bisa diam. Maria membuka mulutnya lagi, “Aku, Maria Angela D’Legere dengan ini memutuskan untuk melanggar aturan yang paling ketat. Bersedia untuk menerima hukuman terberat walaupun memakan waktu seumur hidupku. Hanya untuk bersama dirimu, Zephyrus.”
Zephyrus menghela nafasnya, “Kenapa harus kita? Kenapa harus kita yang terikat oleh aturan ini? Kenapa Tuhan menakdirkan ini kepada kita?”
Maria melepaskan pelukan Zephyrus dan menggenggam tangannya, “Hanya karena aku seorang manusia biasa dan kau adalah penyihir berdarah murni. Tapi kita saling mencintai satu sama lain, artinya kita harus mencapai happy ending.”

Semuanya terjadi begitu cepat, pandangan tadi kini berubah menjadi pandangan yang lain. Luna melihat sekelilingnya berubah lagi. Taman itu kini berganti menjadi sebuah ruangan. Ruangan seperti kamar tidur.

“Maria, kau baik-baik saja?” Luna mengalihkan pandangannya ke sumber suara bariton itu. Seorang pria penuh wibawa menghampiri seorang wanita yang sedang berbaring memegang perutnya.
“sudah aku katakan kepadamu bahwa aku baik-baik saja kan?” jawab Maria sambil menyunggingkan sebuah senyum. Senyum sedih. Kemudian Maria menarik tangan suaminya suapa suaminya itu dapat menyentuh perutnya, “begitu pula dengan anak ini.”
Suaminya tidak dapat berkata-kata. Matanya menggambarkan kekhawatiran. “Kau nampak sakit.”
“Aku baik-baik saja, Zephyrus! Sungguh, aku kuat!”
Suaminya, yang bernama Zephyrus hanya bisa menggenggam tangan istrinya dengan perasaan tak menentu.
“kau bisa Maria, kau bisa!”
Maria tersenyum memandang suaminya. “Aku hanya berharap anak ini mirip kau Zephyrus, dengan rambut pirang dan mata safir, anak ini pasti akan mempesona sepertimu.”
“Dan kuat sepertimu.” tambah Zephyrus.
Maria mengangguk, “Lakukan sekarang!”
Segalanya terjadi begitu cepat. Beberapa orang yang mengerubungi Maria. Zephyrus yang terus berdo’a sambil menggenggam tangan Maria. Maria yang terus menjerit kesakitan. Suara melengking seorang wanita yang berusaha menenangkan Maria. Dan beberapa menit kemudian, suara tangis seorang bayi memecah keramaian itu.
“Selamat tuan, nyonya, anaknya perempuan!”
Zephyrus menghampiri seorang wanita yang menggendong bayi. Anaknya. Maria mengulurkan tangannya yang lemah. “kemarikan, aku ingin melihat anakku.”
Maria memperhatikan wajah seorang bayi yang baru saja disodorkan kepadanya. “Dia benar-benar mirip sepertimu, Zephyrus. Mempesona sekali…”
Zephyrus hanya bisa memandang istrinya itu dengan pandangan kabur. Sebutir air mata jatuh dari mata safirnya.
“Terimakasih Maria, terimakasih…”

Luna menyaksikan pemandangan di depannya dengan pikiran bercampur aduk. Apa yang telah dilihatnya tadi? Kenapa selalu dua orang itu yang diceritakan dalam pemandangan yang baru saja dilihatnya tadi? Tiba-tiba Luna menyadari satu hal.

“Mungkinkah ini adalah sebuah ingatan?”

Tapi ingatan siapa?

Belum sempat pertanyaan itu terjawab, Luna sudah dihadapkan lagi dengan pemandangan yang baru.

“Papa!” seru seorang gadis berambut pirang dan bermata safir. Gadis itu menghampiri papanya yang sedang menekuni sebuah buku. Buku sihir.
“Ada apa Ma Chérie?”
“Papa, sebenarnya aku sangat penasaran pa. kenapa aku tidak boleh keluar dari mansion ini?” Tanya gadis itu.
Mendengar pertanyaan anaknya, pria itu langsung naik pitam. “Kau! Kau hanya harus menaati perintahku dan tidak banyak tanya!”
“kenapa papa selalu begitu?!” gadis itu munali menangis. “aku hanya ingin mengambil hakku untuk keluar dari mansion terkutuk ini!”
Dengan pandangan mengintimidasi, pria itu melihat anaknya dari ujung kepala sampai ujung kaki, “jadi kau lebih senang di luar sana? Di tempat yang penuh dengan manusia manusia biadab? Kita penyihir dan mereka itu manusia biasa. Kita berbeda Ma Cherie.
Gadis itu meninggikan suaranya, “papa! Tidak semua manusia seperti itu! Papa sudah salah paham!”
“Cukup!”
“Tapi pa…”
Papanya memukul meja di depannya dengan kekuatan penuh hingga timbul suara keras. “PERGI KE KAMARMU SEKARANG! JANGAN TAMPAKAN WAJAHMU DI HADAPANKU SAMPAI BESOK!”
Gadis itu langsung pergi berlari menjauhi papanya yang sedang marah seperti kesetanan.
Setelah melihat anaknya itu keluar dari perpustakaan. Pria itu bangkit dan memandang sebuah lukisan wanita tepat dibelakangnya. Matanya menatap lukisan itu dengan tatapan sendu. “Tidak ada seorang manusia biasa yang lebih baik daripada dirimu, Maria. Tidak ada. ”

TEP!
Luna merasakan bahunya ditepuk. Sekelebat pemandangan tadi hilang seketika. Kini dihadapannya terpampang wajah Ervan yang sedang memandangnya kahawatir.
“Kau kenapa?” Ervan mendengkram kedua bahu Luna dengan tangannya.
“Aku…” Luna menatap Ervan. Sendu. Tetapi tatapan mata sendu itu kembali berubah menjadi tatapan dingin. Luna mengangkat tangannya dan menepis tangan Ervan yang mencengkram bahunya. “Lepaskan Aku!”
Ervan hanya bisa terdiam. Dia mengepalkan tangannya sangat keras sampai membuat tangannya itu nyaris berdarah. Giginya gemeletuk. Tapi ia sadar, dia tidak boleh lepas kendali sekarang atau semuanya akan menjadi kacau. Ervan tahu itu.
Tania yang mengerti dengan keadaan, hanya diam. Ikut campur tidak akan membuat semuanya membaik. Menurutnya, itu adalah masalah mereka dan mereka harus menyelesaikannya sendirian.
Oleh karena itu, Tania melangkahkan kakinya, menjauhi kedua insan yang sedang menghindari tatapan satu sama lain. Dia menuju sebuah pintu yang sejak awal memang direncanakan untuk dibuka. Tania menggengggam pegangan pintu itu dan..
Ceklek! Krieeeett…
Pintu itu terbuka! Padahal sebelumnya, pintu itu sama sekali tidak bisa dibuka bahkan jika di dobrak sekalipun.
Kini Tania mengalihkan pandangannya ke dua orang manusia yang masih membisu.
“Kalian…” Tania menghela nafasnya. “… Ikut denganku atau terus berdiri mematung disitu sampai para chain datang dan membunuh kalian.”
Ervan dan Luna tersentak lalu mengikuti Tania dari belakang. Mereka kini dihadapi oleh sebuah ruangan yang sangat luas dengan rak-rak buku yang menempel pada dinding dan menjulang sampai ke langit-langit ruangan.
Tania menepuk pundak Ervan, “Kau, ada baiknya kau pergi ke ruangan dibalik pintu sana. Cari sesuatu yang bisa dijadikan sebagai petunjuk.”
Ervan hendak membuka mulutnya, tetapi Tania sudah menyelanya lagi, “Lakukan apa yang kusuruh tadi, Monsieur Ervan*!”
Ervan masih terdiam, ia melirik Luna yang masih membuang muka. Tetapi setelah melihat tatapan Tania yang berarti –pergi-atau-aku-umpanin-kamu-ke-chain-yang-kanibal-itu- akhirnya dia menyerah. “bien, Mademoiselle Tania**…”
Ervan melangkahkan kakinya menuju pintu yang ditunjuk Tania. Pintu itu tampak sangat tua, tapi kokoh. Entah kenapa aura tidak enak merayap dari ruangan dibalik pintu itu.
Ervan menarik nafasnya. Dia menggenggam knop pintu itu dan mulai membuka pintu tersebut. Tanpa tahu bahwa ruangan itu menyimpan suatu kenyataan yang sudah dipendam berpuluh-puluh tahun.

.

.

.


Tania berkeliling mencari buku yang bisa dipakainya untuk mencari petunjuk, sementara Luna hanya mengikutinya dari belakang. Mata emeraldnya terus menatap gadis pirang di depannya ragu-ragu. Mulutnya sesekali terbuka seperti hendak mengatakan sesuatu. Tetapi kemudian di tutup lagi karena tidak jadi.
Kali ini gadis  itu membulatkan tekadnya dan membuka mulutnya. “Ta.. Tania…”
“Hn?” Tania masih berjalan sambil melihat-lihat.
 Luna menyeimbangkan langkahnya dengan langkah Tania agar tidak tertinggal jauh dibelakang gadis pirang tersebut.
“Te.. Terimakasih…”
Kali ini Tania menghentikan langkahnya sebentar, lalu mulai berjalan lagi. “Aku tidak melakukan apa-apa.”
Luna menghentikan langkahnya dan menundukan kepalanya. “Tapi tetap saja aku harus mengucapkan terimakasih.”
“Kepada orang yang tidak melakukan apapun? Hn, terserah kau saja.” Tania masih terus berjalan dan meninggalkan Luna.
Mendengar kalimat itu, senyum Luna pun mengembang. Terlintas di benaknya bahwa selama ini Tania bukanlah orang yang angkuh. Dibalik sifatnya yang sangat dingin, gadis blonde itu ternyata memiliki rasa peduli yang cukup besar – bukan, malah bisa dibilang sangat besar.
“Hei, Tania…” Kini Luna berlari-lari kecil, menyeimbangkan langkahnya dengan langkah Tania. Dan memosisikan dirinya disebelah Tania. “apa kau tahu bagai mana rasanya mencintai sekaligus membenci seseorang?”
Yang ditanya hanya mendengus, “Haruskah aku menjawab pertanyaan konyolmu itu?”
Luna menggembungkan kedua pipinya. “Hei aku serius!”
Tania menghela nafasnya. “cobalah belajar jujur pada dirimu sendiri.”
“Apa maksudmu…?”
“Sudahlah jangan egois. Kau harus memposisikan dirimu sebagai ‘dia’ dan merasakan bagaimana rasanya.”
Luna kini merasa kakinya lemas, “Andaikan saja, kejadian ini tidak pernah terjadi. Kita tidak perlu mengerjakan tugas observasi sialan itu dan semuanya akan baik-baik saja.”
"Akan jadi lebih baik jika kau dan dia jujur pada perasaan kalian masing-masing. Kalian berdua sangat bodoh," Tania mendecak. Luna memilin ujung bajunya mencoba menahan air matanya yang mulai jatuh.
“Aku tau  itu… aku tau…” desis Luna. Lalu pertanyaan Tania berikutnya mampu membuat kaki Luna yang semula lemas menjadi sama sekali tidak bisa menopang berat tubuhnya lagi.
"…Kau suka padanya?"
Pertanyaan itu, terdengar begitu simpel di telinga Luna. Pertanyaan yang seharusnya menjadi pertanyaan yang biasa saja dan bisa disangkal dengan mudah. Kali ini, tak dapan Luna sangkal. Pertanyaan itu terasa menyakitkan bagaikan belati yang mengoyak jantungnya tanpa belas kasihan.
 “Kalau…” Luna kini terduduk di lantai pualam putih yang dingin dan mulai menggigit bibirnya agar isakan tangis yang kini mulai tumpah tidak terdengar. “Kalau ini merupakan cinta sepihak, maka aku akan menerimanya dengan lapang dada.”
"Tania, aku…" Luna kembali berujar dengan suaranya yang serak karena menangis, "aku dapat menahan sakit hati karena kehilangan orang yang kucintai. Tapi aku tak sanggup kehilangan seorang sahabat yang kusayang sekaligus."
Tania pun tidak mampu untuk berkata-kata.

.

.

.

Ketika kau dihadapi oleh suatu pilihan, manakah yang akan kau pilih?
Kehilangan orang yang kau cintai atau kehilangan sahabat yang paling kau sayangi?
.

.

.

Ervan membuka pintu yang ada dihadapannya. Kini dia dihadapkan oleh sebuah ruangan yang kelihatannya seperti ruang kerja. Semuanya terlihat biasa. Sofa dan meja yang tertata rapi. Di bagian tembok terdapat pendiangan yang terbuat dari bata yang ditumpuk. Simpel, tapi terlihat mewah. Tiba-tiba mata ervan tertuju pada sebuah lukisan di pojok ruangan. Ervan berjalan mendekati lukisan itu. Ervan melihat lukisan itu dengan cermat, tanpa ada satu bagian pun yang terlewat.
Pada lukisan tersebut, nampaklah seorang wanita cantik bermata emerald sedang tersenyum anggun. Rambutnya yang berwarna silver, digelung sampai ke puncak kepala dan ditahan oleh sebuah tiara cantik berwarna silver dengan permata biru. Wanita itu memakai gaun mewah berwarna putih dan silver, serasi dengan warna rambutnya. Sekilas wanita itu terlihat tidak sehat tetapi hal tidak menutupi kecantikan yang dimilikinya.
Mata Ervan kini tertarik kepada sebuah nama yang terukir di bawah bingkai lukisan tersebut.

Maria Angela D’Legere

Nama yang indah. Kalimat itulah yang pertama kali terlintas dalam benak Ervan. Ervan membalikkan badannya. Dan kini dia dihadapi oleh sebuah lemari kecil. Di atas lemari tersebut terdapat beberapa bingkai foto yang sudah ditutupi oleh debu tebal. Ervan mengambilnya sebuah dan meniupnya. Debu tebal itu langsung saja berterbangan dan membuat Ervan terbatu-batuk.
Ervan mencoba mengatur nafasnya dan memperhatikan foto yang sedang dipegangnya. Dia melihat dua insan sedang tersenyum bahagia. Yang satu adalah pria dengan rambut pirang dan bermata safir. yang satunya lagi adalah seorang wanita berambut silver dan bermata emerald. Ervan menyadari bahwa wanita yang terdapat di foto itu dan wanita di lukisan itu adalah wanita yang sama.
‘Siapa pria ini? Apa dia kekasihnya?’ batin Ervan. Ervan menaruh bingkai itu kembali ke tempatnya dan mengambil sebuah bingkai lagi. Kali ini ditiupnya pelan-pelan agar debunya yang tebal itu tidak berhamburan kemana-mana. Detik berikutnya, Ervan hanya bisa menahan nafasnya ketika melihat foto itu.
Foto itu…  Foto seorang gadis yang sangat familiar untuknya. Gadis yang baru-baru ini menemuinya. Gadis bermata safir dan berambut pirang. Gadis yang mirip sekali dengan Tania.
Belum pulih dari rasa terkejutnya, Ervan membalikan bingkai foto itu dan mendapati sebuah nama ditulis di pojok bagian kiri.

Marrybelle Elizatania D’Blanche

.

.

.


“Sudah merasa baikan?” Tania menepuk-nepuk pundak Luna yang sedang menangis dibahunya dengan perasaan canggung.
“Hn. Terimakasih,” Luna menyeka matanya yang sembab dengan punggung tangannya. Tania tersenyum lembut. Luna terpana melihatnya. Terang saja, seorang Tania yang terkenal dingin dan jarang – atau bahkan tidak pernah sama sekali tersenyum, telah tersenyum lembut kepadanya.
“Tania…” Luna memandang Tania dengan tatapan berbinar-binar, “Kau tersenyum! Kau bisa senyum juga rupanya!”
Tania hanya bisa mendengus kesal, “Hei! Kau pikir aku apa eh? Aku juga manusia yang bisa tersenyum.”
Luna terkekeh pelan, lalu menatap mata safir Tania dengan mata emeraldnya. “Kau juga Tania!”
Tania memandang Luna dengan pandangan bertanya. Luna membuka mulutnya lagi, “cobalah jujur pada dirimu sendiri.”
“Apa maksudmu?”
Luna menepuk pundak Tania, “Kau, harus menjadi dirimu sendiri. Aku tau dibalik sikapmu yang superdupermega dingin itu tersimpan sebuah pribadi hangat.”
Semburat merah muncul pada kedua pipi putih mulus Tania. Luna yang melihatnya semakin terkekeh geli. Ternyata benar, tidak selamanya es itu beku. Mereka juga bisa mencair, bukankah begitu?
Jauh di dalam lubuk hati Luna. Entah mengapa Luna merasa, dia mempunyai suatu ikatan dengan gadis pirang yang sedang malu-malu dihadapannya. Perasaan yang membuatnya begitu dekat dengan Tania. Luna merasa pasti. Well, siapa tahu?
Tiba-tiba mata Tania membulat. Tania melihat sebuah buku yang terselip di rak di belakang tubuh Luna. Tania mengambil buku itu dan membaca judulnya.

The M.O.R.T.E Curse.

Dengan cepat Tania membuka buku itu dan membaca isinya. Luna hanya bisa diam dan memperhatikan Tania.
Tiba-tiba selembar kertas terjatuh dari buku itu. Luna segera memungutnya dan membaca isinya.


Tatkala sang surya telah berganti dengan rembulan.

Tatkala insan-insan suci sedang terbuai dalam mimpinya.

Kutukan MORTE akan menyerang siapa saja yang berani nginjak tanah miliknya.



satu persatu orang dipenggal dari depan

mari kita susun

sehingga membentuk kata  MORTE

maka akan terbentuk suatu susunan yang indah



Tidak akan ada yang bisa memusnahkan

Sebuah kutukan terkuat dan terkejam

Kecuali dengan sebuah cahaya turquoise

Yang dilindungi oleh dua ekor naga suci


Luna terhenyak setelah membaca isi surat tersebut. Air matanya mulai tumpah lagi. “Ini kutukan… kutukan yang tidak bisa dihentikan.”
Tania hanya diam, matanya menerawang. Kutukan ini tidak bisa dimusnahkan. Singkat kata, dialah korban berikutnya. Seorang manusia dengan awalan huruf T.
Miris.
Luna menggenggam tangan Tania. “Kalau kutukan ini tidak bisa dihentikan, maka kau akan menjadi sasaran berikutnya, Tania. Aku tak mau itu terjadi. Jangan pergi, jangan pergi tinggalkan aku sendiri. Jangan.”
Tania mengusap-usap punggung Luna. “Sudahlah relakan saja…”
Tangisan Luna semakin menjadi-jadi. “Tapi kenapa? Kenapa harus kita yang terkena kutukan ini? Padahal… padahal kita baru saja bisa sedekat ini. Padahal aku baru saja menemukan sahabat baru. Padahal… padahal…” Luna tidak bisa meneruskan kalimatnya karena isak tangisnya yang semakin menjadi-jadi.
“Luna… ini bukan kutukan…” Tania memeluk tubuh Luna yang berguncang hebat. Tania memejamkan matanya.
“Ini takdir…”

.

.

.


*Tuan Ervan
**Baiklah, Nona Tania

M.O.R.T.E: The Death Chase (Chapter 5)


Bonjour :) sudah lama saya tidak update cerita ini huehueheh xD jangan bosen nunggu ya :D dan maaf kalo chapternya pendek. keep reading and comment, okay?

©Adinda Azka/Original Net Novel [ONN]
( All names of characters, title, and all of the story is licensed by Adinda Azka)

Title : M.O.R.T.E : The Death Chase 
Chapter : 5. Strength Of The Strongest
Genre : Mistery, Action, Horor, Romance, Supernatural, Fantasy.
Rating : Buat manusia yang udah bisa mencerna misteri murahan (?)

WARNING: Bahasa Innalillahi, kebanyakan dialog, alur acakadut, tokoh kurang mendukung, cerita garing, monoton, misteri ga rame , dan masih banyak kewarningan yang lain (?)

.
.
.

“Ervan …” kata Luna disela isak tangisnya, “mengapa kau menembak terali besi itu? Kenapa?!! Sekarang aku kehilangan satu sahabatku lagi, kau tau?!!” 
“Kau gila?!” sergah Ervan, “kita bisa terbunuh kalau aku tidak melakukan hal itu!” 
“tidak adakah cara lain untuk menghentikannya selain membuat dia menghembuskan nafas terakhirnya?!! Apakah kau senang melihatku sendirian lagi?!!”
“Luna … aku …” Ervan mencoba menjelaskan. 
“Ervan… aku membencimu …” lirih Luna.
“Apa?!” desis Ervan tidak percaya.
“Aku benci padamu…”

.

.

.

M.O .R.T.E : The Death Chase
Strength Of The Strongest
.

.

“Aku benci padamu …”
Ervan membisu. Matanya terus menatap Luna. Hatinya terasa tercabik-cabik mendengar gadis yang disayanginya mengatakan benci kepadanya.
Luna juga membisu. Dia merasa sakit. Mulutnya telah mengatakan sesuatu yang sangat bertolak belakang dengan hati nuraninya. Sesungguhnya dia tidak benar-benar membenci Ervan.

“Sudah malam,” kata Tania memecah keheningan, “kita harus mencari tempat beristirahat.” Tania bangkit, Ervan dan Luna mengikutinya.
Mereka sampai kepada kamar yang telah terlebih dahulu ditemukan oleh Anne. Tania mendekati kasur dan mengecek kekokohannya. Ternyata setelah bepuluh-puluh tahun tidak terurus, kasur itu masih kokoh.
“Kasur ini masih kokoh. Kita bisa tidur disini,” kata Tania. Matanya kini menatap Ervan, “Kau mau ikut tidur bersama kami?”
“ah! Tidak, aku di bawah saja,” Kata Ervan menanggapi Tania. Luna masih membisu.
Tania dan Luna berbaring di kasur. Ervan terduduk di salah satu sisi kasur itu.
Beberapa jam berlalu, ruangan itu menjadi hening sekali. Terdengar nafas Tania dan Luna yang teratur.
Ervan menghela nafasnya. Dia tidak bisa tidur sama sekali. Terlebih lagi setelah memikirkan kejadian aneh menimpanya. Dia makin tidak bisa tidur.
Ervan bangkit dan menghampiri Luna yang terlelap. Dipandanginya wajah Luna yang tenang. Hatinya semakin tercabik cabik.
Ervan mendekati wajah Luna dan mengambil beberapa helai rambut luna lalu mengecup rambut itu.
“Kau sekarang membenciku eh?” Tanya Ervan pelan nyaris berbisik.
Luna tetap diam. Matanya tertutup rapat. Nafasnya teratur.
Ervan menghela nafasnya, “perasaanku selama ini sekarang terbuang sia-sia.”
Ervan berjalan menuju pintu dan keluar dari ruangan itu. Luna membuka matanya. Hatinya terasa perih.

.

.

“Kasur ini masih kokoh. Kita bisa tidur disini, Kau mau ikut tidur bersama kami?”
“ah! Tidak, aku di bawah saja.”
Tania dan Luna berbaring di kasur. Ervan terduduk di salah satu sisi kasur itu.
Beberapa jam berlalu. Luna memaksakan matanya untuk terpejam. Tetapi tidak bisa. Terlalu banyak kejadian aneh yang dialaminya hari ini dan itu semakin membuat dia tidak bisa tidur.
Tiba-tiba didengarnya Ervan bergerak. Entah mengapa, Luna segera menutup matanya dan mengatur nafasnya agar terdengar tenang.
Dengan pendengaran yang dimilikinya, Luna tau bahwa Ervan sedang berjalan ke arahnya.
Hening…

“Kau sekarang membenciku eh?”
Luna menahan nafasnya, suara Ervan terdengar dekat sekali. Seperti tepat di depan wajahnya. Luna mendengar Ervan menghela nafasnya.
“perasaanku selama ini sekarang terbuang sia-sia.”
Kini jantung Luna terasa seperti berhenti berdetak. Pikirannya kosong. Rasanya dia ingin bangkit dan memeluk Ervan, tapi entah mengapa tubuhnya tidak bisa digerakkan. Detik berikutnya, Ervan menjauhkan diri dari Luna dan berjalan keluar ruangan.
Luna membuka matanya dan duduk. Matanya terasa panas. Luna menekan dadanya, merasakan jantung dibawahnya tangannya itu berdenyut tidak beraturan. Rasanya seperti disayat-sayat gergaji, diinjak gajah, digiles truk dan dicabut secara paksa dari tempatnya.
Sakit.
Kini air mata Luna terjatuh dari tempatnya. Luna menangis dan dia tidak berusaha untuk menahan tangisnya itu. Dia hanya berharap semakin banyak air mata yang keluar maka semakin banyak pula rasa sakit yang dapat dilepasnya. Tapi berbalik dari kenyataan, semakin dia menangis, semakin dia merasakan kenyataan datang menyiksanya.
“Tuhan bagaimana ini…” Luna menekan dadanya semakin keras dan membenamkan kepalanya di antara pahanya. “… aku mencintainya.”
.

.

.

ERVAN melangkahkan kakinya dengan ragu-ragu. Pikirannya kacau. Ervan menampar wajahnya sendiri. Berharap semua yang terjadi hanyalah sebuah mimpi.
Sebuah mimpi konyol yang telah membuat dirinya seolah-olah menjadi orang tolol yang paling menderita dimuka bumi ini.
Tapi apa daya, semuanya asli bukan mimpi. Dan menerima kenyataan ini hampir sama rasanya seperti melompat ke jurang penuh buaya dan singa yang sedang menunggu jatah makanan mereka.
Ervan mengacak-acak rambutnya dengan perasaan gusar. Demi tuhan, dia tidak pernah merasa se-menderita ini. Dan demi tuhan juga, dia tidak akan merasa begitu menderita kalau Luna tidak berkata bahwa gadis itu membencinya.
Segalanya terasa begitu menyakitkan setelah menyadari suatu kenyataan bahwa, Luna Rayon –gadis terpenting untuknya– membencinya.
Ervan mengambil pistol yang tergantung di pinggangnya. Ditatapnya pistol itu lekat-lekat. Otaknya berfikir, akankah Luna tersenyum ketika melihatnya mati? Ervan menimbang-nimbang sebentar. Luna kini membencinya, dan mungkin satu-satunya cara agar kesalahannya pada Luna bisa dimaafkan adalah

Mati.

Ya mati. Kalau dirinya mati, maka Luna pun akan merasa senang karena orang yang telah membunuh sahabatnya itu telah mati.
Ervan termenung, tiba-tiba hati nuraninya kembali berbicara. Kalau dia mati, siapakah yang akan menjaga Luna dari bahaya? Belum sempat menjawab pertanyaan hatinya, Ervan kembali teringat pada perkataan Anne sebelum gadis itu mati.

“lagipula kalau dia mati duluan maka susunan MORTE itu akan teracak, bukankah begitu?”

Ervan kembali memutar otaknya untuk berfikir. Susunan Morte yang teracak ya. Hn, benar juga. Inisial namanya juga berada di dalam kata tersebut.

Kalau dia mati, kemungkinan besar Luna untuk selamat juga semakin besar.

Kemungkinan itu membuatkan Ervan meneguhkan niatnya. Diarahkannya pistol yang digenggamnya itu ke kepalanya. Tepat di otak, tempat dimana seluruh kerja badannya dikendalikan. Ervan menghitung mundur sementara jari telunjuknya mulai menekan pelatuk pistol tersebut.

Sepuluh…

“Ervan…”
“Ervan, ini anak teman papa…”
Ervan tersenyum pada seorang gadis kecil yang sedang bersembunyi dibalik tubuh ayahnya. Gadis kecil itu menunduk, wajahnya semerah saus tomat.
Ervan mengangkat tangannya, mengulurkan tangannya untuk menarik tangan kecil yang masih menggenggam baju pria dewasa di depannya.
“Namaku Ervan. Namamu siapa?”
Gadis kecil itu melihat tangan Ervan lalu melihat muka Ervan. Terus begitu berulang-ulang. Sampai tiga puluh detik kemudian, gadis kecil itu mengulurkan tangannya untuk menyambut tangan Ervan yang sudah terlebih dahulu terulur di hadapannya.
“Luna.”

Sembilan…

“Ervan… Ervan…” Luna menepuk pipi sahabatnya yang tengah tertidur dihadapannya. Tetapi sahabatnya itu sama sekali tidak bergeming.
“Ervan bodoh,” Luna mengalihkan pandangannya ke arah lain, “dia lebih menyukai mimpinya ketimbang aku.”
Tanpa sepengetahuan Luna, Ervan membuka matanya. Ternyata dia tidak tidur. Dia hanya pura-pura tidur untuk menjahili Luna. Tapi kini dia tidak tahu mana yang lebih, antara membuka matanya atau terus berpura pura tidur sambil berfikir tentang kata-kata Luna tadi.

Delapan…

“Oi Ervan, siapa Luna bagimu?” tanya seorang pemuda kepada temannya yang sedang menyesap Coke kalengan di tangannya.
“Luna? Dia itu temanku sejak kecil. Kenapa?” jawab Ervan enteng.
“hanya itu?”
“hn.”
“tapi menurutku, sikapmu terhadapnya itu berbeda.”
Ervan mengalihkan pandangannya dari Coke itu ke wajah temannya. “Itu masih menurutmu.”
“Kau ini, jangan salah. Mataku ini tajam, kau tau?”
“hn.” Jawab Ervan singkat sambil meminum kembali Coke ditangannya itu.
Tapi temannya itu tidak menyerah, “pernahkah kau menyadari perasaanmu kepadanya lebih dari sebatastemanmu sejak kecil?”
Kini Ervan terdiam. Matanya menatap kaleng Coke kosong yang isinya kini sudah berpindah ke perutnya.
“Jadi apa kesimpulanmu?” tanya Ervan. Tangannya melempar kaleng coke kosong itu ke dalam tong sampah di pojok ruangan.
“Kau menyukainya, bodoh.”


Tujuh…

“Hei Olivia, kau lihat Luna?”
“Oh, hei Ervan. Tadi dia sedang di perpustakaan,” Jawab seorang gadis berkeperawakan laki-laki itu.
“Thanks.” Kata Ervan seraya melangkahkan kakinya ke perpustakaan. Sesampainya disana, Ervan melihat punggung gadis yang tengah dicarinya itu sedang menghadap rak buku.
“Hey, Lu…” Lidah Ervan tiba-tiba menjadi kelu. Badannya tidak bisa digerakan. Mulutnya ternganga. Matanya terbelalak melihat gadis itu kini tengah berbincang-bincang akrab dengan seorang laki-laki di sebelahnya. Sesekali gadis itu tersenyum, menampakan senyum termanis yang dimilikinya.
Ervan membalikan badannya lalu pergi dari tempat itu. Tangannya mengacak-acak rambutnya dengan keras.
“Sial. Aku ini kenapa sih?”

Enam…

“Kyaaa… Ervan!!!”
“Kak Ervan kumohon terimalah cokelat ini!!!”
“Hei, Kak Ervan itu milikku!!”
“Kalian adik kelas diam saja! Cokelat yang boleh dimakan Ervan hanya cokelat buatanku saja!”
“tidak bisa begitu!”
Ervan berusaha menghindari kerumunan gadis-gadis yang sedang mengerubunginya itu.
“valentine itu memang merepotkan sekali,” batinnya kesal. Tiba-tiba matanya menangkap sosok yang tengah menatap dirinya.
“I’m sorry ladies, but I must go now!” kata Ervan sambil berjalan, membelah kerumunan gadis yang sedang tercengang. Mata gadis-gadis itu mengikuti gerak Ervan yang sedang berjalan mendekati seseorang.
“Cih, lagi-lagi Luna.” Kata seorang gadis sambil melempar tatapan tidak suka.
.
“sedang apa kau disini?” tanya Ervan kepada Luna yang sedang berdiri di ujung koridor sekolah.
Luna menggenggam erat cokelat yang sedang dipegangnya, “eh anu… tadinya aku mau memberikan cokelat untuk… untuk… seseorang! Ya seseorang! Tapi karena orang itu mungkin sekarang sudah punya banyak cokelat jadi yaa aku…”
“untukku saja!” Kata Ervan memotong perkataan Luna. Di rebutnya cokelat yang dipegang gadis itu lalu cepat-cepat dimasukan kedalam tasnya.
“ayo sekarang kita pulang,” kata Ervan sambil menarik tangan Luna. Tanpa Ervan ketahui, kini Luna tengah tersenyum malu menatap punggung teman masa kecilnya itu.

Lima…

“Ervan, boleh kutanya sesuatu?” tanya seorang gadis berambut cokelat. Gadis itu kini tengah menatap langit sore dari atap sekolah.
“Silahkan.”
“Menurutmu aku itu gimana orangnya?”
Ervan terdiam sejenak. Lalu menjawab pertanyaan Luna dengan satu tarikan nafas.
“Kamu itu… cengeng, manja, bodoh, lamban, keras kepala, egois, tukang tidur, tukang telat, kalau dilihat ngga ada bagus bagusnya sih.”
“Ervanthe Julian Amstrong!!!” Luna menggembungkan kedua pipinya membuat Ervan yang melihatnya terkekeh pelan. Tapi kemudian rautnya kembali menjadi serius.
“tapi aku…”

BRAK!!!

            “Luna! Tak ingatkah kau bahwa hari ini ada kegiatan klub?!!!” Seorang gadis pirang mendobrak pintu atap sekolah kemudian menarik tangan Luna untuk bangun.
“Ya ampun Michelle, aku lupa!” Luna menepuk jidatnya. Tubuhnya masih ditarik oleh temannya yang kesal itu.
“Maafkan aku Ervan kita lanjutkan nanti ya…” Luna menutup pintu meninggalkan Ervan sendirian dalam kesunyian.
Ervan menghela nafasnya.
“Tapi aku… menyukai kau yang seperti itu.”

Empat…

Ervan melihat jam tangannya untuk yang kesekian kalinya. Sudah setengah jam dia menunggu Luna untuk turun dari kamarnya. Hari ini Luna akan pergi ke kota tua untuk mengadakan observasi. Meskipun dia tidak ada sangkut pautnya dengan observasi yang Luna lakukan, Ervan meneguhkan hatinya untuk tetap berada disamping Luna.
“Ervan kenapa kamu ikut?” tanya Luna pertama kali saat melihatnya duduk di ruang tamu.
“Tidak apa-apa. Aku ingin melihatmu melakukan observasi.” Jawab Ervan asal. Pria itu tidak ingin Luna tau maksud yang sebenarnya.
“Melihat observasi? Apanya yang dilihat?” gadis itu menatap mata Ervan.
Ervan mengalihkan pandangannya dari mata Luna. “Yah, macam-macam. Barang kali saja aku menemukan hal baru untuk menambahkan ke dalam makalahku.”
Ervan melirik Luna yang kini sedang melihat kearah lain.
“Aku hanya ingin melindungimu,” gumam Ervan sangat pelan.

Tiga…

“Ervan …” kata Luna disela isak tangisnya, “mengapa kau menembak terali besi itu? Kenapa?!! Sekarang aku kehilangan satu sahabatku lagi, kau tau?!!”
“Kau gila?!” sergah Ervan, “kita bisa terbunuh kalau aku tidak melakukan hal itu!”
“tidak adakah cara lain untuk menghentikannya selain membuat dia menghembuskan nafas terakhirnya?!! Apakah kau senang melihatku sendirian lagi?!!”
“Luna … aku …” Ervan mencoba menjelaskan.
“Ervan… aku membencimu …” lirih Luna.

Dua…

 “Apa?!” desis Ervan tidak percaya.
“Aku benci padamu…”

Satu…

“Aku benci padamu…”

Nol.

Ervan hendak menekan pelatuk pistolnya agar peluru pistol itu menembus kepalanya mengenai otaknya. Tapi tiba-tiba…

“Hentikan!”

Ervan membatu. Telunjuknya berhenti menekan pelatuk pistol. Diturunkan tangannya dan matanya dialihkan kepada sumber suara yang menyuruhnya berhenti.
Matanya membulat begitu melihat sosok berambut pirang tengah melayang dihadapannya.
“Ka… Kau?!!”
“Jangan bunuh diri. Bunuh diri tidak akan menghindarimu dari kutukan MORTE.”
Ervan memicingkan matanya. Menatap sosok yang ada dihadapannya. Sosok ini mirip sekali dengan Tania. Hanya saja orang ini memakai gaun berwarna putih.
“Kau… Tania?” tanya Ervan. Gadis itu hanya tersenyum.
“Ikutlah denganku, aku akan memberi tahu sesuatu,” gadis itu menjentikkan jarinya. Tiba-tiba sekeliling Ervan menjadi gelap.

.
.
.

KINI mereka berada di sebuah ruangan bernuansa putih. Ervan duduk di sofa putih menunggu gadis pirang yang mirip Tania itu kembali.
“Kau mau teh?” Tanya gadis itu menyodorkan secangkir teh.
“Terima kasih.” Ervan meminum teh tersebut. Ada rasa hangat menjalar ditubuhnya.
Gadis itu duduk di sebelah Ervan. “Jadi apa yang mendorongmu untuk bunuh diri seperti tadi?”
Ervan hanya diam. Gadis itu menunggu dengan sabar sampai Ervan mau membuka mulut.
“Sebelum itu…” Ervan mulai membuka mulutnya. “beri tahu aku, apa yang terjadi pada kota ini.”
“bisakah aku bertanya terlebih dahulu? Apa yang kau ketahui tentang kota ini?” tanya gadis pirang itu.
“jika sampai terdengar lonceng gereja berbunyi maka kota ini akan berubah menjadi kota yang mengerikan.” Jawab Ervan.
“Baiklah, itu tidak sepenuhnya salah.” Kata gadis itu sambil menganggukan kepalanya.
“Ervan, kau percaya pada penyihir?” Tanya gadis itu lagi.
“hanya dongeng anak-anak,” Jawab Ervan sambil acuh tak acuh.
“tapi, itulah yang terjadi pada kota ini.”
Ervan kembali menatap mata gadis pirang itu dengan tatapan tidak percaya. “Apa maksudmu?”
“Dulu, kota ini berisikan manusia dan penyihir. Hubungan manusia dengan penyihir itu masih baik-baik saja. Bahkan sangat baik. Mereka hidup berbaur satu sama lain tidak membeda-bedakan jenis.
“waktu itu, ada seorang pria bangsawan yang katakan saja jahat, mengurung putrinya untuk keluar dari rumah. Kau tau kenapa? Karena bangsawan itu merupakan penyihir yang paling hebat di muka bumi ini. Dan putrinya itu, tentu saja pewaris dari penyihir ternama itu memiliki kekuatan sihir yang lebih besar daripada ayahnya.
“Ayahnya melarang dia untuk keluar dari mansion mereka. Tentu saja gadis itu menolak. Suatu hari dia kabur dari rumah dan bertemu dengan seorang pemuda dari kota. Pemuda itu seorang pembuat senjata. Pemuda itu menyelamatkan gadis itu dari kejaran para pengawal. Alhasil, mereka pun saling jatuh cinta.
“tapi mereka tidak boleh bersatu. Kau tau kenapa? Karena pemuda tersebut manusia biasa. Pada waktu itu, aturan manusia biasa tidak boleh bersatu dengan penyihir sangatlah ketat.
“Setelah mengetahui putrinya telah menikah dengan seorang manusia biasa, sang pria bangsawan itu sangat marah. Dia mengerahkan seluruh penyihir untuk mencari putrinya yang kabur.”
“Apakah gadis itu ditemukan?” tanya Ervan.
“tidak, karena sudah kukatakan tadi. Gadis itu memiliki kekuatan sihir lebih besar daripada ayahnya. Dia dapat menggunakan sihirnya itu untuk menyembunyikan dirinya dari kejaran ayahnya.
“tapi sesuatu yang buruk terjadi. Ayahnya itu menjual jiwanya kepada kekuatan hitam untuk mencari putrinya. Akhirnya putrinya itu ditemukan dan diseret pulang.
“sesampainya di mansion mereka, sang ayah dan putrinya bertengkar hebat. Bahkan perang menggunakan sihir. Terang saja gadis itu kalah. Karena kekuatan ayahnya kini menjadi lebih besar daripada miliknya.
“Karena kejadian itu, orang orang kota menjadi benci kepada penyihir. Karena para penyihir itu merusak kota ketika mencari putri bangsawan yang kabur.
“jadi, sistim kehidupan kota ini dibagi dua. Kota manusia dan kota penyihir. Kota manusia mengambil waktu siang. Dan kota penyihir mengambil waktu malam. Sejak saat itu mereka menjadi bermusuhan bahkan membunuh satu sama lain. Rakyat di kota ini habis dibantai oleh para penyihir. Menjadikan kota ini tidak layak pakai lagi. Tapi sewaktu-waktu ketika lonceng gereja berbunyi, maka kota mati itu berubah menjadi kota penyihir.”
“kau bisa beritahu aku dimana gadis bangsawan beserta suaminya itu bersembunyi?” Tanya Ervan.
“Di rumah tempat dimana baju dan senjata yang kau pakai itu diambil.”
“Oh rumah itu?! Pantas saja, rumah itu terlihat lebih utuh ketimbang bangunan-bangunan yang lain!”
“nah, Ervan. Tahukah kau kekuatan yang terkuat itu apa?” tanya si gadis pirang.
Ervan menggelengkan kepalanya. Gadis pirang itu tersenyum.
“Kekuatan untuk melindungi seseorang.”
Ketika dilihatnya Ervan diam, gadis itu tersenyum lagi. “Berjuanglah, dan lindungi orang yang terpenting untukmu.”
Ervan mengangguk, dia menggenggam gelas yang dia pegang lebih erat lagi. "akan kulindungi, meskipun aku harus kehilangan nyawaku."
Gadis pirang itu tersenyum, Ervan memperhatikan wajah gadis di sebelahnya itu. wajah cantiknya benar-benar seperti Tania. Hanya saja gadis ini lebih sering tersenyum ketimbang Tania.
"Kau masih punya hutang jawaban kepadaku." gadis itu menepuk pundak Ervan. "Alasan apa yang membuatmu berniat bunuh diri seperti tadi?"

.

.

.

LUNA menggigit bibirnya mendapati Ervan belum kembali sejak tadi malam. Dirinya mengkhawatirkan Ervan. Bagaimana kalau pria itu mati diserang chain? Luna tidak bisa menenangkan pikirannya.
Tiba-tiba pintu terbuka. Luna mendapati Ervan masuk kedalam ruangan tempatnya dan Tania menunggu. Luna ingin berlari memeluk Ervan, menghilangkan rasa kahawatirnya terhadap pria itu. Tapi badannya itu tidak mau bergerak. Menolak keinginian hatinya itu.
“Darimana saja kau?” Tanya Tania dingin.
“Cuma mencerahkan hati,” jawab Ervan asal kena.
Luna hanya bisa memandang Ervan. Dia menyadari bahwa Ervan sama sekali tidak mengarahkan pandangannya padanya.
Ervan menutup mulutnya. Kejadian yang baru saja dialaminya cuma dia saja yang boleh tau.
Mereka menyiapkan senjata yang akan mereka bawa. Dan bersiap-siap untuk berperang kembali.
“Ayo pergi,” Ervan menggenggam senapannya. “Kita keluar dari tempat ini.”
Mereka membuka pintu ruangan itu dan menemukan chain-chain level A sedang berkeliaran. Ervan melirik Luna.
“Aku telah menemukan orang terpenting yang harus kulindungi.” Batinnya.